Minggu, 09 November 2008
Kemenangan CS merupakan MIX BLESSING
Namun disini akan kita lihat nanti kemampuan kepemimpinan CS dalam mengelola dan memberdayakan masyarakata luwu menuju masyarakat yang sejahtera. Jangan sampai terbuai romantisme belaka yang menyesatkan. Atau bahkan lebih buruk dari kepemimpinan yang dulu. Dan yang kemudian terjadi mix blessing ( berkah yang tercampur).
Jumat, 26 September 2008
MAKNA HIDUP
“Kehidupan yang tak teruji bukan kehidupan yang berharga bagi seseorang”, demikian Plato mengutip kata-kata dari Socrates di dalam bukunya Dialogues dan Apology. Sebenarnya jika seseorang menyelidiki kehidupan secara mendalam, ia akan menemukan bahwa yang dicari oleh jiwa adalah mengetahui makna hidup ini. Para saintis mencarinya di dalam dunia ilmu pengetahuan, para artis di dalam seninya, para filosof mencarinya di dalam filsafat. Apapun minat masing-masing orang tentu berbeda-beda, namun kecenderungan yang sebenarnya adalah sama, yaitu menemukan arti hidup itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa jiwa datang ke dunia ini adalah untuk tujuan ini, untuk menyadari dan memahami makna kehidupan ini.
Baik secara material maupun spiritual setiap jiwa sedang berjuang untuk tujuan ini dengan jalannya masing-masing.
Kita dapat melihat ini pada tingkah laku bayi. Keinginan bayi melihat sesuatu, menyobek-nyobeknya dan melihat ada apa di dalamnya, menunjukkan hasrat jiwa untuk melihat kehidupan, untuk memahami kehidupan. Tentu saja efek dan pengaruh kehidupan di muka bumi ini membuat manusia mabuk. Dan karena mabuk atau lupa diri inilah ia menjadi sedemikian hanyut dengan dirinya sendiri serta kepentingannya sendiri hingga ia tersesat dan lalai dengan watak pembawaannya sendiri. Sebenarnya hasrat manusia yang paling dalam bukan mencari makanan atau kenyamanan. Kecenderungannya yang paling dalam adalah mencari pemahaman atas kehidupan. Seorang anak akan terus-menerus bertanya kepada orang tuanya, ‘Apa ini? Apa itu? Apa maksudnya ini semua?’ Ini menunjukkan adanya keinginan yang terus-menerus untuk mengetahui makna kehidupan, sebuah keinginan yang terus berlaku sepanjang hidup.
Apakah hal ini memiliki pelajaran atau pengajaran kepada kita?
Tentu saja! Hal ini mengajarkan kita tentang suatu prinsip bahwa sumber dan tujuan alam semesta adalah satu dan sama, bahwa Pencipta menciptakan segalanya untuk mengenal ciptaan-Nya. Tetapi bagaimana sang Pencipta melihat dan memahami ciptaan-Nya? Tidak saja di dalam aspek yang paling tinggi dan paling dalam, tetapi juga melalui segala sesuatu, Tuhan sedang terus-menerus memperhatikan dan memahami ciptaan-Nya.
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS 55 : 29)
Maka bila ada yang bertanya, ‘Apakah seni itu? Apakah seni itu buatan manusia?’ Jawabannya adalah, ‘Ya, seni memang buatan manusia, tetapi juga buatan Tuhan melalui tangan manusia.’ Jika demikian bagaimana mekanisme yang telah dan sedang berlaku di alam semesta?
Sejatinya, alam ini bekerja, akan tetapi bekerja untuk tujuan apa?
Jawabnya : bekerja untuk memahami dirinya sendiri!
Lalu bagaimana mekanisme dunia itu sendiri? hidupkah ia ataukah mati? Sebenarnya, apa pun yang kita sebut hidup maka ia hidup, dan apa pun yang kita pikir ia mati juga sebenarnya tidak mati. Ia juga hidup!
Kita biasa mengatakan ini benda mati dan itu benda hidup! Padahal sebenarnya tidak ada satu pun benda yang mati, semuanya adalah makhluk hidup, hatta sebutir debu.
YANG TERTIDUR DAN YANG TERJAGA
Demikian juga, tidak ada bedanya antara mengambil jalan pintas dengan mengambil jalan yang lebih panjang. Yang satu berkeliling dulu dan yang lain mengambil jalan lurus. Tujuannya sama.
Yang berbeda ketika berada dalam perjalanannya, yang satu berjalan kaki, sementara yang lain naik kendaraan, atau yang satu tersadarkan di dalam perjalanannya, yang lainnya tertidur dan terlena dalam perjalanannya, sehingga ia tidak melihat pemandangan-pemandangan indah selama di perjalanan. Rasulullah saww justru bersabda, “Manusia dalam keadaan tidur dan bila ia mati maka ia baru bangun (tersadarkan)” 1]
Imam Ali as berkata, “Ahlud dunia karakbin yusaru bihim wa hum niyaam”, artinya : Para ahli duniawi itu seperti pengendara yang berjalan dengan kendaraannya sementara mereka tertidur” 2]
Takdir dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang satu adalah mekanisme yang mengatifkan takdir ini. Bagian yang lain adalah jiwa yang menyadarkan ini. Oleh karena itu mekanisme adalah mesin, sedangkan jiwa yang berada di dalamnya terdapat ahli mesin yang senantiasa sibuk agar mekanisme ini terus bekerja dan menghasilkan apa yang mesti dihasilkan.
Ada banyak metode dan cara yang manusia gunakan untuk mengetahui dan memahami. Dan pikiran merupakan sarana dan alat untuk mencapai tujuan. Sesuai dengan kesiapan alatnya, jiwa mengalami dan mengenal hidup. Kondisi pikiranlah yang memampukan jiwa untuk melihat kehidupan dengan jelas. Pikiran juga bisa diumpamakan sebagai air. Bila air keruh, maka sulit bagi kita untuk bercermin di atas permukaannya. Tetapi bila air itu jernih, maka kita dapat bercermin di atasnya. Sayangnya, manusia senantiasa hanya mengejar nilai-nilai yang bersifat materi, sehingga ia hanyut di dalam kehidupan ini dan kehilangan berbagai manfaat yang sesungguhnya dari hidup ini. Pada zaman sekarang ini manusia mendefinisikan peradaban sebagai kemajuan komersial atau industrial, ia menjadi ideal setiap jiwa. Dan menjadi sulit bagi jiwa untuk mencapai ketenangan untuk menyelesaikan tujuan yang terlahir dari jiwa itu sendiri. Hal ini bukan berarti perkembangan komersial dan industrial itu tidak perlu bagi kehidupan manusia. Tidak sama sekali! Sepanjang ia tidak meruntuhkan atau merintangi tujuan hidup manusia itu sendiri! Namun jika yang dilakukan sebaliknya, meski secara lahiriah ia meraih kemajuan, sebenarnya ia telah menyia-nyiakan hidupnya dan itu berarti hidupnya telah hancur.
Jika di Timur ada takhyul, maka di Barat pun ada. Ada takhayul yang menyebutkan bahwa hewan seperti kuda, kucing, anjing, burung, bisa memberi peringatan kepada seseorang bahwa ia akan jatuh sakit atau meninggal dunia, dan hal-hal lainnya yang serupa, dan terjadi sebagaimana yang diduga atau diramalkan, namun mengapa manusia tetap tidak bisa memahami dan merasakan hidup ini sebagaimana yang dirasakan oleh binatang? Mungkin jawaban sementara yang bisa disampaikan adalah bahwa binatang hidup lebih alamiah ketimbang manusia masa kini. Mereka lebih dekat dengan alam ketimbang manusia yang hanyut dalam kehidupan artifisial. Thomas Browne mengatakan, “Segala sesuatu adalah tiruan, sedangkan alam adalah karya seni Tuhan.” 3]
Jika binatang dapat mengetahui tanda-tanda alam maka selayaknya manusia dapat lebih mengetahuinya. Pengetahuan seperti inilah yang merupakan kepuasan atas hidupnya, bukan semua yang bersifat fisik dan lahiriah. Lalu dimanakah kekayaan manusia? Kekayaannya ada dalam pengetahuannya. Jika kekayaan hanya berada di bank dan tidak di dalam ilmu pengetahuannya, maka berarti ia tidak memilikinya. Ia ada di bank.
Semua yang diminati, apakah itu nilai, titel, kedudukan dan semua bentuk kepemilikan, dimana semua itu? Di luarkah? Tentu saja tidak!
Ini karena semua yang berada di luar hanya dapat diketahui melalui pengetahuan yang berada di dalam. Oleh karenanya semua kepemilikan yang sesungguhnya tidak lain yang berada di dalam. Dan yang berada di dalam itu adalah HATI, karenanya hati mesti dikembangkan, dan harus disesuaikan dengan ritme alam dan titian nadanya yang tepat. Jika ia sesuai dengan ritme alam dan pola-pola nadanya, maka ia akan dapat mencapai tujuannya.
LIMA METODA UNTUK MERASAKAN ILMU KEHIDUPAN
Ada 5 metoda yang berbeda, yang dengan kelima cara tersebut ilmu kehidupan dapat dirasakan. Cara pertama yang banyak kita ketahui dan kaum wanita dalam hal ini melebihi kaum pria, yaitu KESAN. Seringkali jika kita datang ke sebuah rumah atau menemui seseorang, maka yang pertama kali kita dapatkan sebelum berbicara dengan orang tersebut adalah kesan, apakah itu kesan yang menyenangkan atau pun yang tidak menyenangkan. Sebenarnya ini merupakan ilmu atau pengetahuan atas orang tersebut. Kadang-kadang ketika kita melihat seseorang, seolah kita ingin mengatakan, ‘Menjauhlah dariku!’.
Atau terkadang pada saat pertamakali kita bertemu dengan seseorang, tiba-tiba saja kita merasa tertarik padanya tanpa tahu alasannya.
Pikiran kita tidak memahami, namun jiwa kita secara ‘ajaib’ telah lebih dulu tahu. Bukan saja setiap orang mendapatkan kesan dari orang yang ia temui, bahkan jika ia memiliki kepekaan, ia pun dapat merasakan kesan dari surat yang datang dari seorang yang tak dikenal sekalipun. Banyak yang mengatakan bahwa mereka dapat mengatakan watak seseorang dengan ilmu physiognomy 4] atau phrenology 5]. Akan tetapi jika mereka tidak memiliki indera kesan ini di dalam hati mereka, meskipun mereka telah membaca ribuan buku tentang physiognomy atau phrenology, maka mereka tidak akan pernah memperoleh kesan yang sebenarnya.
Jadi indikasi apakah ini? Ini menunjukkan bahwa ilmu yang benar dari awal hingga akhir bukanlah milik dunia material.
Ada cara lain, yaitu cara intuitif. Kemudian, inspirasi, visi dan revelasi atau wahyu. Albert Einstein mengatakan,”Seseorang memulai hidupnya sesaat ia dapat hidup di luar kediriannya” (Wisdom of the Ages)
MALAIKAT PELINDUNG
Saat itu surga begitu tenangnya, sehingga suara dari bumi dapat terdengar, dan sang anak bertanya perlahan, “Tuhan, jika aku harus pergi sekarang, maukah Engkau memberitahu nama malaikat itu?” “Hmm…, baiklah. Kamu nanti akan memanggil malaikatmu itu dengan sebutan Ibu.”
Minggu, 21 September 2008
Makna Idul fitri
Idul Fitri = hari kembali suci ???
Jika kita telaah arti dari kata "idul fitri", secara etimonologi/bahasa artinya seharusnya adalah hari kembali berbuka (hari boleh makan dan minum). Dalam konteks haditsnya disebutkan idul fithrun (tidak ada ta' marbuthoh-nya). fithrun yaitu berbuka (mungkin sering kita dengar dana ifthor : dana untuk berbuka puasa).
Kalo diartikan suci harusnya di tulis dengan idul fitrah seperti zakat fitrah (zakat untuk membersihkan diri). Tetapi pada konteks haditsnya tidak di sebutkan kata fitrah tapi dengan lafadz fithrun.
Kemudian para fuqaha dalam menerangkan makna hadits Nabi itu juga menyebutkan bahwa idul fitri artinya hari kembali berbuka artinya hari ketika kita sudah boleh kembali makan dan minum.
mY SCHOLL SMU NEG 1 BELOPA
ALFRED B. NOBEL
Syeikh Muhammad Abduh, seorang intelektual Muslim asal Mesir, pernah mengungkapkan kesannya setelah berkeliling Eropa bahwa bangsa Eropa adalah bangsa non-Muslim yang mengikuti ajaran Islam, sedang kita adalah bangsa yang memeluk Islam tapi tidak mengikuti ajaran dan spirit Islam yang sejati.
Salah satu dari wujud keislaman orang Eropa tercermin dalam kepribadian seseorang bernama Alfred B. Nobel (1833-1896) seorang insinyur dan ahli kimia berkebangsaan Swedia. Dia adalah seorang inventor jenius yang menemukan dinamit, karet sintetis, sutra artifisial, kulit sintetis, dan lain-lain. Dia pemegang tak kurang dari 350 hak paten di bidang sains. Selain itu Alfred Nobel juga seorang pecinta sastra dan telah menulis sejumlah puisi dan novel. Pada saat meninggalnya dia meninggalkan lebih dari 1.500 buku, dari karya fiksi sampai filsafat.
Sebagai inventor teknologi, tak heran bila dia kaya raya. Akan tetapi kekayaannya yang senilai USD 9 juta itu tidak dihambur-hamburkan atau diwariskan pada anak-anaknya. Sebaliknya justru dia wasiatkan untuk membentuk yayasan pemberi penghargaan kepada “those who, during the preceding year, shall have conferred the greatest benefit on mankind (mereka yang, pada tahun sebelumnya, telah memberikan manfaat terbesar pada kemanusiaan)” tanpa memandang bangsa, ras dan agama.
Penghargaan yang paling bergengsi tersebut diberikan setiap tahun dalam enam bidang yaitu perdamaian, sastra, fisika, kimia, kedokteran dan ekonomi. Apa yang dilakukan oleh Alfred Nobel ini betul-betul sesuai dengan spirit Islam untuk memberi rahmat bagi seluruh alam (Al Anbiya’ ayat 107).
Ironisnya, kita umat Islam yang notabene sebagai penyandang ajaran dan spirit Islam yang bernilai universal justru bersikap sebaliknya. Kalangan kaya Muslim tidak hanya enggan memenuhi standar minimum zakat, infaq dan sadaqah. Lebih dari itu, mereka justru menghambur-hamburkan hartanya untuk memenuhi kepuasan duniawi semata. Tidak cukupkah peringatan dan ancaman Allah bagi mereka yang kikir dan tamak seperti yang tersebut dalam Qur’an Surat Ali Imron 180, At Taubah 22, Al Lail 8, dan Surat Muhammad 38?
Adakah yang salah dengan keislaman umat Islam, sehingga “rahmat” itu tidak dirasakan bukan hanya oleh orang non-Muslim tapi juga oleh umat Islam sendiri yang membutuhkan? Mengapa kita hanya bisa memimpikan Albert Nobel-albert nobel Muslim tanpa dapat melihatnya dalam kenyataan?
Manusia, baik itu Muslim atau bukan, pada dasarnya merupakan makhluk yang paling mencintai dirinya sendiri (selfish) (QS 17:83). Sikap anti sosial ini semakin berkurang seiring dengan semakin tingginya pendidikan, karena pendidikan menciptakan visi (hikmah) yang akan membuatnya menjadi semakin civilized. Umat Islam, baik yang mampu atau yang miskin, umumnya terbelakang atau tidak maksimum pendidikannya.
Lemahnya pendidikan inilah salah satu problema lemahnya umat Islam dalam menangkap spirit dan semangat Quran. Betapa pentingnya pendidikan ini sehingga wahyu pertama yang diturunkan Allah pada Nabi-Nya secara eksplisit berkaitan dengan pendidikan (QS 96:1-5). Bangsa Barat sangat mengutamakan pendidikan, sehingga tidak heran merekalah yang lebih dulu menangkap hikmah (visi) spirit Islam. Karena sudah merupakan janji Allah untuk memberikan kemampuan hikmah pada siapa saja yang Ia kehendaki (QS 2:269).
Kamis, 11 September 2008
TUJUH 'KEAJAIBAN" TUBUH KITA
1 The Golden Ratio.
Setiap bagian tubuh manusia ternyata merupakan hitungan matematika. Believe it or not, Fibonacci numbers yang kita jumpai di buku Da Vinci Code, ternyata juga ada di tubuh kita sendiri. Bilangan Phi (1:1,618) adalah angka yang akan kita dapatkan setiap kali kita mengukur setiap inci tubuh kita. Coba deh perhatikan ruas jari tangan kita. Ruas kedua dari ujung berukuran 1,618 kali lebih panjang dari ruas terujung, begitu seterusnya. Rumus phi ini juga kita temui di wajah kita. Panjang hidung kita berbanding 1:1,618 dibanding lebar mulut dari ujung ke ujung. Gigi terdepan dengan gigi di sebelahnya juga berukuran 1,1618 kali lebih besar. Inilah yang disebut dengan The Golden Ratio.
Dr. Stephen Marquardt bahkan telah membuat topeng kecantikan berdasarkan golden ratio ini, dan orang yang mempunyai struktur muka paling mendekati topeng ini adalah cewek yang sudah diakui kecantikannya, seperti Ratu Nefertiti. Tapi wajah kita juga bisa cocok ke dalam topeng golden ratio, kok. Soalnya, setiap kali kita tertawa, maka kita akan semakin mendekati ukuran phi tersebut. Makanya, jangan cemberut!
2 Sidik Lidah
Selain sidik jari, ternyata lidah kita juga mempunyai pattern unik yang tidak dimiliki orang lain. Hmm, jangan-jangan di masa depan kita akan bikin paspor dengan sidik lidah, nih. Hehehe…
3 Hidup dan Mati
Saat kita membaca tulisan ini, sebenarnya sedang ada sekitar 50 ribu sel yang mati di dalam tubuh kita. Tapi, di saat yang sama, lahir pula 50 ribu sel baru yang menggantikannya (kecuali di otak, yang tidak bisa menumbuhkan sel baru). Wow, ternyata tubuh kita aktif banget, ya? Di saat yang sama, untuk mencerna isi kalimat ini, pesan tersebut disampaikan ke otak dengan kecepatan mencapai 250 mil per jam!
4 Tempat Tinggal Bakteri
Satu orang manusia mempunyai organisme hidup yang lebih banyak daripada jumlah seluruh manusia di bumi. Soalnya, dalam 1 inci tubuh manusia, ternyata merupakan tempat tinggal bagi kira-kira 32 juta bakteria!
5 Kepanasan atau Kedinginan?
Pernah makan makanan panas dan dingin, kan? Seberapa pun panas atau dinginnya makanan tersebut, tapi lidah kita masih bisa menerimanya, tuh. Hal ini disebabkan karena mulut kita menyesuaikan suhu makanan tersebut menjadi suhu normal, sehingga akhirnya bisa kita telan. Maksudnya, si mulut akan mendinginkan si makanan panas, dan menghangatkan si makanan dingin. Wah, ternyata mulut kita tak ubahnya seperti microwave dan kulkas, nih.
6 Anti Kerriput!
Selain bisa menghilangkan stress, ternyata tertawa juga bisa menguatkan sistem kekebalan tubuh, lho. Dan, menurut penelitian, anak-anak tertawa sekitar 300 kali setiap harinya, sementara orang dewasa cuma 15-100 kali saja tertawa. Ck ck ck, apa hidup mereka sedemikian beratnya, ya? Hehehe… Dan, nggak heran juga kalau orang dewasa itu jadi cepat terlihat tua. Soalnya, setiap 2000 kali wajah kita berkerut (misalnya karena kesal atau cemberut), maka muncullah segaris keriput. Makanya, jangan malas tertawa!
7 Self-healing
Tubuh kita ternyata tak ubahnya seperti Claire Bennet di serial Heroes yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Soalnya, setiap luka kita pasti akan sembuh, dan tubuh kita mempunyai ”keajaiban” untuk membentuk bagian tubuh yang baru. Misalnya nih, kaki kita terluka dalam karena terantuk batu. Lama-kelamaan, sel-sel di tubuh akan membentuk jaringan daging dan kulit baru untuk menutupi bekas luka tersebut. Namun demikian, ternyata ada satu bagian tubuh yang nggak bisa menyembuhkan dirinya sendiri lho, yaitu gigi. Kalau gigi tetap kita copot, jangan harap akan tumbuh gigi baru.
MAKNA RAMADHAN
Bagi Umat Islam, pengidentifikasian nama-nama bulan Ramadhan dengan berbagai sinonimnya sebenarnya mengandung maksud. Nama-nama itu diungkapkan dengan singkat dan tepat sebagai “pengingat cepat atau penggugah” dan “keywords” tentang apa yang sebaiknya dilakukan di bulan tersebut. Selain itu, nama-nama bulan Ramadhan juga menyatakan berkah dan maghfirah yang dapat diraih pada kondisi dan suasana paling baik selama satu tahun ke belakang dan ke depan (Ramadhan tahun depan seandainya masih bisa diberi umur).
Demikian banyaknya keutamaan dan peluang untuk berubah di hadapan Allah SWT di bulan Ramadhan ini hingga bulan Ramadhan sering dikiaskan dengan perumpamaan Tamu Agung yang istimewa. Perumpamaan dan keistimewaan itu tidak saja menunjukkan kesakralannya dibandingkan dengan bulan lain. Namun, mengandung suatu pengertian yang lebih nyata pada aspek penting adanya peluang bagi pendidikan manusia secara lahir dan batin untuk meningkatkan kualitas ruhani maupun jasmaninya seoanjang hidupnya.
Karena itu, Bulan Ramadhan dapat disebut sebagai Syahrut Tarbiyah atau Bulan Pendidikan. Penekanan pada kata Pendidikan ini menjadi penting karena pada bulan ini kita dididik langsung oleh Allah SWT. Pendidikan itu meliputi aktivitas yang sebenarnya bersifat umum seperti makan pada waktunya sehingga kesehatan kita terjaga. Atau kita diajarkan oleh supaya bisa mengatur waktu dalam kehidupan kita. Kapan waktu makan, kapan waktu bekerja, kapan waktu istirahat dan kapan waktu ibadah. Jadi, pendidikan itu berhubungan langsung dengan penataan kembali kehidupan kita di segala bidang.
Menata kehidupan sesungguhnya bagian dari proses mawas diri atau introspeksi. Jadi, bulan Ramadhan sesungguhnya bulan terbaik sebagai masa mawas diri yang intensif. Proses mawas diri melibatkan evaluasi diri ke wilayah kedalaman jiwa untuk dinyatakan kembali dalam keseharian sebagai akhlak dan perilaku mulai yang membumi. Tentunya evaluasi ini didasarkan atas pengalaman hidup sebelumnya yaitu pengalaman atas semua peristiwa dan perilaku sebelas bulan sebelumnya sebagai ladang maghfirah yang sudah disemai dan ditanami pohon benih-benih perbuatan. Selain itu, evaluasi juga mencakup taksiran untuk kehidupan di masa depan, baik di dunia maupun di akhirat nanti.
PERTAPA DAN KEPITING
Perlahan-lahan, ia kemudian membuka matanya. Pertapa itu segera melihat ke arah tepi sungai, sumber suara tadi berasal. Ternyata, di sana nampak seekor kepiting yang sedang berusaha keras mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meraih tepian sungai sehingga tidak hanyut oleh arus sungai yang deras.
Melihat hal itu, sang pertapa merasa kasihan. Ia segera mengulurkan tangannya ke arah kepiting untuk membantunya. Melihat tangan terjulur,dengan sigap kepiting menjepit jari si pertapa muda. Meskipun jarinya terluka karena jepitan capit kepiting, tetapi hati pertapa itu puas karena bisa menyelamatkan si kepiting.
Kemudian, dia pun melanjutkan kembali pertapaannya. Belum lama bersila dan mulai memejamkan mata, terdengar lagi bunyi suara yang sama dari arah tepi sungai. Ternyata kepiting tadi mengalami kejadian yang sama. Maka, si pertapa muda kembali mengulurkan tangannya dan membiarkan jarinya dicapit oleh kepiting demi membantunya.
Selesai membantu untuk kali kedua, ternyata kepiting terseret aruslagi. Maka, pertapa itu menolongnya kembali sehingga jari tangannya makin membengkak karena jepitan capit kepiting.
Melihat kejadian itu, ada seorang tua yang kemudian datang menghampiri dan menegur si pertapa muda, “Anak muda, perbuatanmu menolong adalah cerminan hatimu yang baik. Tetapi, mengapa demi menolong seekor kepiting, engkau membiarkan capit kepiting melukaimu hingga sobek seperti itu?”
“Paman, seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda. Dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih. Maka, saya tidak mempermasalahkan jari tangan ini terluka asalkan bisa menolong nyawa mahluk lain, walaupun itu hanya seekor kepiting,” jawab si pertapa muda.dengan kepuasan hati karena telah melatih sikap belas kasihnya dengan baik.
Mendengar jawaban si pertapa muda, kemudian orang tua itu memungutsebuah ranting. Ia lantas mengulurkan ranting ke arah kepiting yang terlihat kembali melawan arus sungai. Segera, si kepiting menangkap ranting itu dengan capitnya.”
“Lihat, Anak muda. Melatih mengembangkan sikap belas kasih memang baik,tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan. Bila tujuan kita baik,yakni untuk menolong mahluk lain, tidak harus dengan cara mengorbankan diri sendiri. Ranting pun bisa kita manfaatkan, bukan?”
Seketika itu, si pemuda tersadar. “Terima kasih, Paman. Hari ini saya belajar sesuatu. Mengembangkan cinta kasih harus disertai dengan kebijaksanaan. Di kemudian hari, saya akan selalu ingat kebijaksanaan yang paman ajarkan.”
kita salah, seringkali perhatian atau bantuan yang kita berikan bukannya
memecahkan masalah, namun justru menjadi bumerang. Kita yang tadinya tidak
tahu apa-apa dan hanya sekadar berniat membantu, malah harus menanggung
beban dan kerugian yang tidak perlu.
dengan cara yang tepat dan bijak. Dengan begitu, bantuan itu nantinya
tidak hanya akan berdampak positif bagi yang dibantu, tetapi sekaligus
membahagiakan dan membawa kebaikan pula bagi kita yang
membantu.
Think Positive
Jumat, 08 Agustus 2008
SEJARAH TANA LUWU
Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tanah Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang di tantang oleh hulubalang Kerajaa Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah di seluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke Utara Poso. Dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tator. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:
- Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
- Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:
- Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
- Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
- Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:
- Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
- Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
- Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
- Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
- Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Noppong, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Jemma" .
Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pejuang Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo: Masamba, Malili, Tanatoraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.
Atas jasa-jasan beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara Kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.
Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk ke dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".
Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di kota Palopo.
Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: - Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. - Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:
- Kewedanaan Palopo
- Kewedanaan Masamba dan
- Kewedanaan Malili.
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.
Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu: - Wara - Larompong - Suli - Bajo - Bupon - Bastem - Walenrang - Limbong - Sabbang - Malangke - Masamba - Bone-bone - Wotu - Mangkutana - Malili - Nuha
Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.
Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratip (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.
Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata di lapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luasn wilayah propinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.
Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.
Tepatnya pada tanggal 10 Pebruari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Pebruari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun1999.
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:
I. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tator, dari 16 kecamatan, yaitu: - Kec.Lamasi - Kec.Walenrang - Kec.Pembantu Telluwanua - Kec.Warautara - Kec.Wara - Kec.Pembantu Waraselatan - Kec.Bua - Kec.Pembantu Ponrang - Kec.Bupon - Kec.Bastem - Kec. Pemb. Latimojong - Kec.Bajo - Kec.Belopa - Kec.Suli - Kec.Larompong - Kec.Pembantu Larompongselatan
II. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
- Kec. Sabbang
- Kec. Pembantu Baebunta
- Kec. Limbong
- Kec. Pembantu Seko
- Kec. Malangke
- Kec. Malangkebarat
- Kec. Masamba
- Kec. Pembantu Mappedeceng
- Kec. Pembantu Rampi
- Kec. Sukamaju
- Kec. Bone-bone
- Kec. Pembantu Burau
- Kec. Wotu
- Kec. Pembantu Tomoni
- Kec. Mangkutana
- Kec. Pembantu Angkona
- Kec. Malili
- Kec. Nuha
- Kec. Pembantu Towuti
III. Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:
- Kecamatan Bara
- Kecamatan Cendana
- Kematan Mungkajang
- Kecamatan Telluwanua
- Kecmatan Telluwarue
- Kecamatan Wara
- Kematan Wara Barat
- Kecamaatan Wara Selatan
- Kecamatan Wara Timur
- Kecamatan Wara Utara
IV. Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
- Angkona
- Burau
- Malili
- Mangkutana
- Nuha
- Sorowako
- Tomoni
- Tomoni Utara
- Towuti
- Wotu
Setelah Pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:
- Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
- Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
- Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
- Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.
MENUJU KESEMPURNAAN DENGAN KESEJATIAN
Oleh karena alasan terakhirlah, kemudian ada kesibukan tambahan dalam hidup saya belakangan ini : mengumpulkan dan mengolah cerita. Dari sekian cerita yang sudah terkumpul dan telah digunakan sebagai kendaraan pemahaman buat pembaca dan audiensi, ada sebuah cerita yang terbukti bisa menggugah hidup banyak orang. Ia berkisah tentang seorang kaya raya yang baik hati dan memiliki empat isteri.
Di suatu pagi orang kaya tadi didatangi oleh sang kematian. Dengan sopan mahluk terakhir berucap begini : ‘Bapak yang baik hati, atas utusan Tuhan kami ditugaskan untuk menjemput. Cuman, karena kebaikan hati Bapak selama hidup, diizinkan oleh Tuhan untuk membawa satu di antara empat isteri Bapak’. Dengan tersenyum orang kaya ini memohon waktu untuk menemui keempat isterinya satu persatu.
Yang pertama dipanggil tentu saja isteri keempat. Seorang wanita muda yang cantik, dengan tubuh yang menawan, rambut panjang yang terurai dan tentu saja senyumnya yang indah dan manis. Namun, betapa terkejutnya orang kaya tadi mendengar jawaban terhadap ajakan untuk menemani suaminya ke dunia kematian. Wanita cantik tadi menolak ajakan suaminya dengan kata-kata kasar dan sarkastis.
Setelah menangis sambil menyesali hidupnya, orang kaya tadi memanggil isteri ketiga dengan ajakan yang sama. Wanita ini menjawab dengan bahasa yang lebih sopan : ‘maafkan kanda, saya hanya bisa menemani kanda sampai di sini saja’. Kalau tadi seperti diterjang petir rasanya, kali ini Bapak kaya tadi seperti dihempas air bah. Lagi-lagi ia menangis menyesali seluruh hidupnya. Dengan semangat hampir putus asa, ia menemui isteri kedua dan mengemukakan ajakan yang sama. Isteri kedua menjawab lebih sopan lagi : ‘saya akan temani kanda, namun hanya sampai di liang lahat’. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali memanggil isteri pertama. Dan takjubnya, kendati isteri pertama tidak terlalu diperhatikan, jarang diajak makan, bahkan sering disakiti, dengan tersenyum wanita yang pipinya sudah penyok dan merah-merah ini menjawab begini : “saya akan menemani kanda sampai kapanpun dan sampai di manapun”.
Ilustrasi tentang empat isteri di atas, sebenarnya ilustrasi tentang isteri dan suami kehidupan. Semua orang memiliki empat isteri (suami) kehidupan. Isteri keempat yang paling seksi, paling menarik, menghabiskan paling banyak waktu, sehari-hari bernama harta dan tahta. Ia memang sejenis isteri yang menyita paling banyak waktu dan tenaga dalam hidup. Dalam kehidupan banyak orang, lebih dari separuh waktu dan tenaga teralokasi ke sini. Dan sebagaimana cerita di atas, siapa saja yang memperuntukkan waktu dan tenaga hanya untuk harta dan tahta, pasti menyesali kehidupannya di gerbang kematian.
Isteri ketiga yang juga mengkonsumsi waktu dan tenaga cukup banyak bernama tubuh atau badan kasar. Ini juga menghabiskan uang yang tidak sedikit. Dan jangan lupa, isteri yang ini hanya bisa menghantar kita sampai di tempat dan waktu di mana kita dipanggil sang kematian. Setelah itu, ia kita kembalikan ke pihak yang meminjamkan badan ini. Isteri kedua – yang hanya bisa menghantar kita sampai di liang lahat – adalah isteri, suami, putera-puteri serta kerabat dekat kita di rumah. Sesetia-setianya mereka, hanya akan bisa menemani kita sampai di kuburan saja. Setelah itu, mereka hanya menangis sambil kembali ke kehidupan masing-masing.
Dan isteri kita yang paling setia dan akan menemani kita kemanapun kita pergi, dan apapun yang kita lakukan terhadapnya ia hanya mengenal kesetiaan, kesetiaan dan kesetiaan, ia bernama sang jiwa. Atau, dalam sejumlah tradisi disebut dengan kata kesejatian.
Sayangnya, kendati ia yang paling setia, dalam keseharian ia juga yang paling jarang kita perhatikan. Dalam banyak kehidupan, ia malah kerap disakiti. Kebencian, kemarahan, permusuhan dan sejenisnya adalah serangkaian kegiatan yang memukuli sang jiwa. Kalau isteri kedua (badan kasar) kita beri makan setiap hari, kita hanya memberi makanan sang jiwa sekali-sekali saja. Ada bahkan yang tidak pernah memberikan makanan pada jiwanya. Dan kalau makanan badan kasar kita harus beli dan membayarnya, makanan sang jiwa dalam bentuk cinta, cinta dan cinta, ia tersedia gratis dalam jumlah yang tidak terbatas.
Kembali ke cerita awal tentang perjalanan menuju kesempurnaan, hanya isteri pertamalah yang bisa membawa kita ke sana. Bedanya dengan isteri-isteri lain yang egois, ia selalu mengingatkan kita bahwa jiwa bisa sehat walafiat kalau ketiga isteri yang lain juga kita perhatikan secara seimbang. Tertarikkah Anda untuk hidup dengan jalan-jalan kesejatian ?
gede prama
KOTA BELOPA
Kota Belopa adalah ibu kota baru Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Nama Belopa ini termasuk dikenal pada tahun 1960-an. Sebelumnya desa Belopa ini dikenal dengan nama La Belopa, yang bahasa daerah setempat berarti 'pelepah sagu' atau 'gaba-gaba'. Belopa resmi menjadi ibu kota Kabupaten Luwu sejak 13 Februari 2006 diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Amie Syam. Kabupaten Luwu menjadikan kota Belopa selaku ibu kota, setelah memindahkan ibu kota dari Palopo, karena Palopo menjadi kota otonomi, hasil pemekaran dari Kabupaten Luwu, sehingga Kabupaten Luwu harus memindahkan ibu kota ke sebelah selatan, sekitar 50 km dari kota Palopo. Belopa terletak di pinggir jalan raya Trans-Sulawesi, suatu kecamatan yang terletak di antara kota Palopo dan kota Makassar.
Selasa, 22 Juli 2008
GENGSI
ini kita mati-matian memburunya. Demi gengsi orang bersedia
melakukan apa saja, berapa pun besar ongkos dan risikonya.
Banyak tindakan melawan hukum, tata susila dan moral,
dilakukan demi mengejar gengsi.
Lain orang lain pula simbol-simbol yang dipandang bergengsi.
Unsur etnis, kesukuan, agama, tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan, jenis kelamin dan tingkat usia seseorang, sering
mewarnai perbedaan-perbedaan tadi.
Unsur lokal (di daerah mana atau kompleks apa) seseorang
tinggal, juga mempengaruhi corak perbedaan gengsi tadi. Di
kompleks perumahan sederhana, orang masih bisa bangga betapa
ia baru pulang dari Blok M membeli mesin cuci atau video.
Pekerjaan "mulia" itu biasanya diemban oleh, maaf agak terus
terang, kaum ibu.
Di kalangan sarjana, lain lagi ulah orang untuk menunjukkan
gengsi ini. Pernah seorang doktor dari Indonesia memberi
ceramah di Universitas Monash, Australia, di depan mahasiswa
Indonesia. Dalam sepuluh dari tiga puluh menit ceramahnya ia
sibuk bicara tentang dirinya, termasuk bahwa ia murid Ivan
Illich dan Rostow yang beken itu.
Arti simbolik dari "pidato"-nya itu pun merupakan usaha
menunjukkan gengsi untuk menimbulkan efek "wah". Memang
banyak orang terkesima mendengar murid Rostow itu bicara.
Namun ada juga yang tampak gelisah. Saya malah mengantuk.
Ketika ceramah selesai, orang pun menggerutu. Katanya,
ceramahnya tidak bermutu. Saya tidak setuju. Mana bisa
doktor tidak bermutu?
"Kamu tidur kok bisa tidak setuju," gerutu salah seorang.
Maksud saya, mutu sudah terang ada, cuma tak setinggi langit
harapan kita. Memang salah para pendengar. Mereka terlalu
banyak berharap. Orang sering keliru, dikiranya kualitas
luar negeri (dan murid sarjana kenamaan) mesti hebat.
Sebenarnya, kita musti sepaham dulu dalam dua hal: bahwa
kebesaran guru belum tentu merembes ke murid, dan bahwa
doktor haruslah pertama-tama dilihat, apa boleh buat, cuma
sebagai lambang selesainya sebuah proses administratif.
Artinya, tak usah dulu bicara tentang kemampuan akademisnya.
Namun, apa yang terjadi di sekitar kita memang lain. Kita
terlanjur menilai, doktor itu sebuah gengsi akademis yang
tinggi. Sikap seorang doktor dengan orang awam pun jadinya
ada keserupaan. Mereka, pada dasarnya, kelewat bangga
terhadap gengsi. Kenyataan tidak seimbangnya gelar dengan
kemampuan akademis, atau, tak seimbangnya gengsi dengan
esensinya sebagai seorang doktor, merupakan soal lain.
Kita lihat saja, misalnya, betapa gigih mahasiswa sekadar
mengejar lulus demi gelar. Jadi demi gengsi. Dan bukan
memburu esensi. Sudah barang tentu sikap mereka salah. Tapi
kurang adil kita menimpakan kesalahan hanya pada para
pemburu gengsi itu. Soalnya, mungkin kita semua punya
kontribusi terhadap terbentuknya sikap dan orientasi hidup
seperti itu. Mungkin kita semua sudah gila gengsi.
Membanggakan mantan guru, almamater, jabatan, orang tua,
atau gelar akademis, diam-diam lalu menjadi lumrah. Tidak
punya kemandirian dianggap biasa. Jarang jadinya orang yang
berani bersikap lugas, apa adanya. Kalau toh ada juga, itu
sebuah kekecualian.
Beberapa bulan lalu, saya berkenalan dengan seorang yang
rambutnya mulai memutih. Saya sulit menduga sebagai apa dia.
Dia hanya mengaku bekerja di sebuah departemen, yang saya
tahu pusat penelitiannya baik. Tapi ketika saya tanya apakah
dia peneliti, dengan datar dia menjawab: "Saya cuma
birokrat."
Tak ada kesan apa-apa di wajahnya. Di masyarakat kita,
birokrat sering dipandang remeh. Setidak-tidaknya gelar
birokrat tampak tak seluhur cendekiawan, dramawan, penyair
atau ahli ini ahli itu. Citra birokrat terlanjur negatif.
Pengakuan "saya cuma birokrat" itu lalu terasa mengesankan
kegetiran. Tapi mungkin juga keberanian. Penasaran saya
jadinya. Dari orang lain akhirnya saya tahu, dia bukan
sembarang orang. Dia seorang Dirjen. Kabarnya, Menteri
pernah menawarinya rumah di Menteng. Tapi dia menolak. Lebih
suka dia tinggal di rumah sederhana yang dibelinya sendiri.
Sebagai birokrat, rumus kerjanya cuma dua: "Bikin tiap orang
yang keluar dari kamarmu tersenyum bahagia. Jadikan
jabatanmu sarana ngibadah (beribadah)".
Saya kagum. Saleh orang ini. Tak banyak di negeri kita orang
yang bicara tentang jabatan sebagai sarana ngibadah.
Umumnya, jabatan dijadikan wahana mewujudkan impian-impian
dan sarana menjunjung tinggi (secara sosial, ekonomi, dan
politis) gengsi keluarga, anak cucu dan para cicit.
---------------
Mohammad Sobary,
TUHAN TERSENYUM
Heaven knows we need them here.
Pernahkah Tuhan tersenyum, atau melucu? Dalam kitab suci tak
saya temukan dua hal itu. Begitu juga dalam hadis nabi.
Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas. Pengajian saya
masih randah, kata orang Minang. Tapi kalau soalnya cuma
"adakah khatib yang melucu, atau marah," saya punya data.
Di tahun 1978, seorang khatib melucu di masjid UI
Rawamangun. Akibatnya, jemaah yang tadinya sudah liyep-liyep
jadi melek penuh. Mereka menyimak pesan Jumat, sambil
senyum. Tapi khatib ini tak cuma menghasilkan senyum itu. Ia
diganyang oleh khatib yang naik mimbar Jumat berikutnya.
"Agama bukan barang lucu," semburnya. "Dan tak perlu dibikin
lelucon. Mimbar Jumat bukan arena humor. Karena itu, sengaja
melucu dalam khotbah dilarang ..."
Vonis jatuh. Marah khatib kita ini. Dan saya mencatat
"tambahan" larangan satu lagi. Sebelum itu demonstrasi
mahasiswa sudah dilarang "yang berwajib". Senat dan Dewan
dibekukan. Milik mahasiswa yang tinggal satu itu, "melucu
buat mengejek diri sendiri", akhirnya dilarang juga.
Kita memang perlu norma. Tapi juga perlu kelonggaran. Maka,
saya khawatir kalau menguap di masjid bakal dilarang. Siapa
tahu, di rumah Allah hal itu tak sopan. Buat jemaah yang
suka menguap macam saya, karena jarang setuju dengan isi
khotbah, belum adanya larangan itu melegakan.
Saya dengar Komar dikritik banyak pihak. Soalnya, dalam
ceramah agamanya ia melucu. Tapi Komar punya alasan sahih.
Ia, konon, sering mengamati sekitar. Di kampungnya, banyak
anak muda tak tertarik pada ceramah agama.
"Mengapa?" tanya Pak Haji Komar.
"Karena isinya cuma sejumlah ancaman neraka."
Wah ... Itu sebabnya ia, yang memang pelawak, memberi warna
humor dalam ceramahnya. Dan remaja pun pada hadir.
Saya suka sufisme. Di sana Tuhan dilukiskan serba ramah. Dan
bukannya marah melulu macam gambaran kita. A'u dibaca angu,
tidak bisa. Dzubi jadi dubi, tidak boleh. Khotbah lucu,
jangan. Lho? Bukankah alam ini pun "khotbah" Tuhan? Langit
selebar itu tanpa tiang, bulan bergayut tanpa cantelan dan
aman, apa bukan "khotbah" maha jenaka? Apa salahnya humor
dalam agama?
Di tahun 1960-an, Marhaen ingin hidup mati di belakang Bung
Karno. Dalam humor, saya cukup di belakang Bung Komar.
Artinya, bagi saya, humor agama bikin sehat iman. Dus, tidak
haram jadah.
Di Universitas Monash saya temukan striker: "Jangan bawa
organmu ke surga. Orang surga sudah tahu kita lebih
memerlukannya di sini". Imbauan ini bukan dari Gereja,
melainkan dari koperasi kredit. Intinya: kita diajak
berkoperasi. Dengan itu kita santuni kaum duafa, kaum lemah.
Ini pun "khotbah" lucu. Dalam kisah sufi ada disebut cerita
seorang gaek penyembah patung. Ia menyembah tanpa pamrih.
Tapi di usia ke-70 ia punya kebutuhan penting. Doa pun
diajukan. Sayang, patung itu cuma diam. Kakek kecewa. Ia
minta pada Allah. Dan ajaib: dikabulkan.
Bukan urusan dia bila masalah kemudian timbul, sebab
Allah-lah, bukan dia, yang diprotes oleh para malaikat.
"Mengapa ya, Allah, Kaukabulkan doa si kakek? Lupakah Kau ia
penyembah patung? Bukankah ia kafir yang nyata?"
Allah senyum. "Betul," jawabnya, "Tapi kalau bukan Aku,
siapa akan mengabulkan doanya? Kalau Aku pun diam, lalu apa
bedanya Aku dengan patung?"
Siang malam aku pun berdoa, semoga humor kaum sufi ini tak
dilarang.
---------------
Mohammad Sobary,
DOA YANG TAK MEMBEBASKAN
lama sebelumnya mereka menerima tugas dari sang kiai.
"Sudah mengerti pesan dalam surat itu?" tanya kiai, membuka
pertemuan kembali.
"Sudah, kiai, alhamdulillah," sahut salah seorang santri.
"Bagaimana isi pesan itu?"
Santri itu memperdengarkan bacaannya yang bagus atas surat
Al Ma'un. "Aroaital ladzi yukadzibu biddin ...," merdu
suaranya. Dan ia pun meneruskan pembacaan dan terjemahannya,
sampai selesai.
"Kamu?!" kata sang kiai kepada santri yang lain.
Santri itu pun mengulangi hal yang sama. Ia pun membaca
ayat-ayat suci itu, disertai terjemahannya.
Setelah para santri lain memberi jawaban yang sama, sang
kiai tak lagi meneruskan bertanya pada santri berikutnya. Ia
berkesimpulan, semua santri pasti akan berbuat serupa.
"Kalian belum mengerti kalau begitu. Kalian cuma hapal.
Mengerti dan hapal itu beda," katanya lagi, dengan intonasi
lembut seperti semula.
Kiai kita ini ialah pendiri perserikatan yang bernama
Muhammadiyah yang terkenal itu: Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Dialog ini terkenal di kalangan keluarga Muhammadiyah. Orang
Muhammadiyah menganggap "peristiwa" ini penting karena dalam
dialog itu terselip sebuah pesan jelas, bahwa agama tak cuma
minta dipahami, melainkan diamalkan. Ketika agama berhenti
pada titik pemahaman, saat itu mungkin agama diturunkan
derajadnya menjadi "cuma" sejenis filsafat.
Agama, dengan kata lain, dipreteli fungsi-fungsi sosialnya
yang begitu penting dan yang paling relevan dengan hidup
kemasyarakatan kita.
Syahdan, sejak dialog antara kiai dan santri itu lalu
didirikan sebuah panti asuhan, tempat menampung anak-anak
yatim-piatu. Langkah ini diambil KH Ahmad Dahlan untuk
memenuhi perintah yang dikandung di dalam surat Al Ma'un
tersebut. Ini merupakan contoh kongkret bagi para santrinya,
mengenai bagaimana mereka harus memahami kandungan isi kitab
suci Al Qur'an.
Di sana memang ada kalimat: "Tahukah kamu, orang-orang yang
mendustakan agama? " Dan dalam surat ini dijelaskan bahwa
orang yang menyia-nyiakan anak yatim serta tak memberi makan
orang miskin, dimasukkan dalam kategori dusta itu.
Agama diturunkan Tuhan buat manusia, dan bukan buat
kepentingan Tuhan itu sendiri. Tuhan sudah kelewat mulia,
kelewat luhur, kelewat kaya. Pendeknya ia tak perlu apa-apa
lagi.
Oleh karena itu, sekali lagi, pemahaman KH Ahmad Dahlan itu
sungguh sangat kontekstual buat situasi kita saat itu, dan
juga kini. Ayat-ayat suci sungguh bukan untuk dibaca,
dilagukan, dan dipertandingkan dari tingkat kabupaten sampai
tingkat nasional, melainkan untuk dimengerti, dipahami dan
dilaksanakan.
Sikap KH Ahmad Dahlan begitu tegas: ia tak ingin umat Islam
hanya menjadi "burung nyanyi", (seperti contoh para
santrinya) yang mengandalkan suara merdu. Baginya, yang
terpenting adalah tindakan dan amal nyata. Relevansi sosial
dari agama, pendeknya, merupakan hal yang penting. Mungkin
malah yang terpenting.
Ibadah puasa selama sebulan itu ditutup dengan lebaran.
Suasana khusu', penuh tirakat dan sikap prihatin yang
nampaknya dalam itu diakhiri dengan sebuah pesta: makan,
minum, rokok dan segala macam yang selama sebulan dilarang,
di hari itu halal semata hukumnya. Dan kita bersyukur.
Tradisi yang mewarnainya, dus sesuatu yang bukan bagian dari
ajaran, ialah sungkem pada orang-tua, mertua, bertemu sanak
keluarga, teman kongkow, teman ngaji, teman sekolah atau
kantor, dan juga para tetangga. Suasana gembira memancar di
tiap wajah. Hati pun terbuka buat saling memaafkan.
Urusan ibadah kita menjadi juga urusan nasional. Negara
mendapat untung, setidaknya dari penjualan benda-benda pos.
Permintaan dan pengiriman maaf tak bisa jalan tanpa amplop
dan perangko.
Pulang ke kampung juga merupakan tradisi lain yang ikut
mewarnai kemeriahan lebaran. Negara juga ikut terlibat dalam
acara ini. Mungkin juga memperoleh untung dari penjualan
tiket kereta, pesawat dan kapal laut, buat kepentingan
orang-orang yang bergembira ini.
Suasana tirakat tak boleh berlama-lama. Tuhan menghendaki
segala yang mudah, sederhana dan kepenak, bagi
hamba-hambaNya. Tapi persoalannya, jika puasa sebulan itu
dianggap media latihan hidup asketik, pengerahan segenap
kekuatan lahir dan batin untuk menangkap esensi serta makna
ajaran suciNya, apakah kemudian yang kita bawa "pulang" ke
dunia ini? Apa hasil pengembaraan rohaniah, yang bisa
kongkret kita abdikan buat kepentingan kemanusiaan?
Pertama-tama, barangkali harus diakui bahwa tak setiap hamba
memang telah "berhasil" menghayati esensi ajaran yang
terkandung dalam puasa. Mungkin kita ini masih pada tataran
"burung nyayi": kita baru hapal, dan belum mengerti, seperti
kata Kiai Dahlan tadi. Kita sibuk ngaji, sibuk bertilawatil
Qur'an, mungkin kurang sibuk berbuat.
Kecuali itu, dari tahun ke tahun, mungkin suasana "tirakat"
dalam bulan puasa semakin nampak berubah. Benar, kita masih
fasih bicara solidaritas sosial, kita juga punya kepedulian
terhadap kemiskinan, tapi bagaimanakah tindakan kita?
Acara buka puasa menggejala di mana-mana. Acara-acara
semacam itu sering berarti makan besar dan enak. Dan kita
boleh bertanya pada diri sendiri, berapa puluh kalikah acara
seperti itu kita hadiri selama sebulan itu?
Atas nama kekeluargaan, kangen-kangenan antara sesama teman
dalam organisasi ketika mahasiswa, kumpul tanpa suatu tujuan
tertentu selain buka bersama, atau bahkan dengan motivasi
bisnis, acara buka puasa bersama diadakan di hotel mewah.
Tak jadi soal memang, karena kita makin makmur. Tapi "kita"
di sini siapa gerangan orangnya? Nampaknya cuma kelas
menengah dan atas. Dengan kata lain, golongan rakyat yang
sehari penghasilannya 2-3 ribu, tak akan pernah ikut acara
macam ini.
Tak jadi soal juga memang, kalau kita tak ada kepedulian
terhadap mereka. Tak jadi soal kalau kita tak belajar
menaruh iba dan rasa kasih pada mereka yang di bawah, yang
tertindas.
Jarak antara sesama kita, sebenarnya jauh. Setidaknya, tak
sedekat yang kita bayangkan. Dan tak sedekat yang kita
gambarkan secara ideal bahwa tiap umat, menurut ajaran, satu
sama lain adalah saudara.
"Saudara yang bagaimana?" saya bertanya
Soal serius dalam hidup kita, umat, ialah bahwa kita lupa,
ajaran itu bukan realitas. Tapi kita sudah puas dengan semua
yang ideal. Dan berhentilah kita di tataran itu.
Maka kita pun menyanyikan lagu bahwa agama memperhatikan
yang miskin dan menyantuni yang yatim. Kita menyanyi dalam
arti sebenarnya karena kita lupa bahwa agama di situ
menuntut tindakan kita. Ucapan "Selamat Lebaran" yang kita
sampaikan pada mereka yang lebih miskin jadinya cuma ucapan
kosong atau setengah kosong, karena tanpa kita sertai
tindakan yang jelas bisa membebaskan mereka dari struktur
yang mengurung dan memiskinkan mereka itu.
Sebagai doa, ucapan kita jelas mulia. Tapi bagaimanapun, ia
belum merupakan doa yang membebaskan.
---------------
Mohammad Sobary,
Jakarta
Selasa, 08 Juli 2008
PUISI LAKNAT UNTUK PARA DURJANA
YANG TAK BEDA DENGAN SERIGALA
YANG SENANTIASA BERPESTA DALAM ISTANA
INGIN KUKUTUK MENJADI KERAK NERAKA
KARENA TAK HENTI-HENTINYA MENGHIANATI KATA
TAK PUAS-PUASNYA MEMPERKOSA BAHASA
MENELIKUNG MAKNA MENJADI PETAKA
MEMBIARKAN DUSTA MENJADI BENCANA
DALAM BERKAS KERJA DAN KOAR-KOAR RENCANA
DI HADAPAN PARA JELATA DAN DI LAYAR KACA
DARI RIUH KOTA SAMPAI HENING DESA
MENGUBAH BAHAGIA MENJADI NESTAPA
MEMBEKAP TAWA DENGAN RINTIHAN LARA
MENGAPA KAU DIAM BANGSAT?
SEDANG BUMI PELAN-PELAN HABIS DIKERAT OLEH PARA KEPARAT!
ATAU MEMANG KALIAN KEKASIH GELAP?
YANG DIAM-DIAM TERTAWA BERSENDAKAP!?
HEI SAMPAH!
INI BUKAN PUISI GUNDAH
TAPI SUMPAH SERAPAH!!!!
By. Taufik Akbar Syam dalam Buku Orkestra Kehidupan
Putera Belopa
Politik Uang dalam Pemilihan Bupati Luwu 2008
Dan memang politik, begitu menarik hati, tidak memandang status dalam tatanan social masyarakat. Ada adagium dalam politik bahwa tidak ada lawan atau kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Tujuan orang berpolitik adalah kekuasaan. Seperti kata Mafioso italia berkata” kekuasaan itu lebih nikmat daripada bersenggama”.
Perkembangan politik di luwu begitu mencengangkan, karena perubahan dukungan masyarakat bisa berubah-ubah setiap waktu. Fanatisme terhadap suatu kelompok tidak terlalu mengikat. Karena secara sosiologis masyarakat luwu adalah masyarakat yang merdeka dari tekanan siapapun. Namun persaingan antara kandidat calon bupati luwu, tidak akan terlepas dari politik uang yang seperti kanker ganas yang menggegoroti demokrasi, sehingga demokrasi tak lebih dari investasi untuk meraih kekayaan secara singkat dan menjanjikan. Demokrasi hanya symbol-simbol dalam pemilihan bupati luwu 2008.
Politik dan Uang
Kekuatan uang dalam politik semakin menunjukan pengaruh luar biasa. Pengaruh itu dapat kita saksikan dalam bekerjanya fungsi-fungsi parlemen dalam hubungan dengan pemerintah, institusi negara dan sector swasta.
Pendeknya, legitimasi parpol dan parlemen sebagai instrument demokrasi modern untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.kini berada di titik nadir. Betul bahwa kehidupan politik hanya ladang perburuan rente ekonomi dan bukan kegiatn produktif.
Kian intimnya hubungan politik dan uang mungkin akan melanggengkan korupsi investif. Para pejabat dan pengusaha yang dekat kekuasaan semakin kaya entah uangnya berasal dari uang halal atau uang haram Celakanya mereka tidak ada kepentingan untuk membangun infrastruktur politik, social, ekonomi yang sehat untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan tetapi sekedar cash and carry.
Peran kekuatan uang
Mengapa kekuatan uang begitu memegang peran penting? Yang nyata untuk membiayai kendaraan parpol dan untuk kampaye yang memerlukan biaya besar.
Dalam system pemilu sekarang, biaya politik untuk pemenangan pemilu lebih ke kas kandidat bukan partai, sehingga mereka harus memperluas sumber pendanaan. Kandidat bupati yang melamar parpol peserta pemilu harus mengeluarkan dua kali untuk memenagi “pemilu internal” dan kampaye di daerah pemilihan.
Faktor ideologis mungkin mungkin bukan daya tarik politik karena warna ideology hampir tidak terlihat dalam dunia perpolitikan, selain hanya politik identitas. Di mata rakyat, kebanyakan belum ada contoh nyata hubungan politik dengan kesejahteraan umum. Maka jangan salahkan jika masyarakat lebih pragmatis menuntut keuntungan pribadi yang langsung daripada perbaikan kebijakan umum. Apabila hal ini terjadi, yang ada hanya penghisapan manusia oleh manusia (L’explotation de L’homme per L’homme)
Namun harapan kedepan, makin banyak pemilih luwu yang rasional sekaligus mengingatkan untuk menghukum dan tidak memilih penguasa yang tidak berprestasi, mempunyai rapor merah, dan berbau busuk. Sehingga tujuan demokrasi tercapai yaitu keadilan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Copy Right . Andi Sidi Gazalba Wajuanna
Kordinator Front Rakyat Tana Luwu (FORTAL)
Don Quisotte
Baju zirah yang digunakan tidak menjamin keamanan dirinya. Dengan menyakini gerakannnya yang terbatas, dia bertindak sebatas yang disinkan oleh sang baju untuk bermanuver, sebatas standar prosedur yang ada. Hasil tentu terbatas dan standar juga. Sementara pesaing lain, apabila mampu keluar dari belenggu ketidaknyamanan atau tidak menggunakan baju zirah sama sekali, maka mereka pasti akan memenangkan pertempuran ini. Don Quisotte, sang kesatria, niscaya akan terlindas dan terlibas oleh kegesitan gerak lawan. Dia akan mati dalam baju zirah yang dingin , berat dan kaku.
By. Andi Sidi Gazalba Wajuanna
Kordinator Front Rakyat Tana Luwu