BELOPA MY CITY MY HOME I LOVE FULL
zwani.com myspace graphic comments

Jumat, 08 Agustus 2008

SEJARAH TANA LUWU

Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tanah Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.

Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang di tantang oleh hulubalang Kerajaa Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah di seluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke Utara Poso. Dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tator. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:

  • Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
  • Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.

Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:

  • Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
  • Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
  • Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.

Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:

  • Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
  • Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
  • Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
  • Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
  • Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.

Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Noppong, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Jemma" .

Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pejuang Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo: Masamba, Malili, Tanatoraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.

Atas jasa-jasan beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara Kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.

Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk ke dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".

Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di kota Palopo.

Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: - Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. - Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.

Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:

  • Kewedanaan Palopo
  • Kewedanaan Masamba dan
  • Kewedanaan Malili.

Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.

Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu: - Wara - Larompong - Suli - Bajo - Bupon - Bastem - Walenrang - Limbong - Sabbang - Malangke - Masamba - Bone-bone - Wotu - Mangkutana - Malili - Nuha

Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.

Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratip (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.

Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata di lapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luasn wilayah propinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Pebruari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Pebruari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun1999.

Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:

I. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tator, dari 16 kecamatan, yaitu: - Kec.Lamasi - Kec.Walenrang - Kec.Pembantu Telluwanua - Kec.Warautara - Kec.Wara - Kec.Pembantu Waraselatan - Kec.Bua - Kec.Pembantu Ponrang - Kec.Bupon - Kec.Bastem - Kec. Pemb. Latimojong - Kec.Bajo - Kec.Belopa - Kec.Suli - Kec.Larompong - Kec.Pembantu Larompongselatan

II. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:

  1. Kec. Sabbang
  2. Kec. Pembantu Baebunta
  3. Kec. Limbong
  4. Kec. Pembantu Seko
  5. Kec. Malangke
  6. Kec. Malangkebarat
  7. Kec. Masamba
  8. Kec. Pembantu Mappedeceng
  9. Kec. Pembantu Rampi
  10. Kec. Sukamaju
  11. Kec. Bone-bone
  12. Kec. Pembantu Burau
  13. Kec. Wotu
  14. Kec. Pembantu Tomoni
  15. Kec. Mangkutana
  16. Kec. Pembantu Angkona
  17. Kec. Malili
  18. Kec. Nuha
  19. Kec. Pembantu Towuti

III. Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:

  1. Kecamatan Bara
  2. Kecamatan Cendana
  3. Kematan Mungkajang
  4. Kecamatan Telluwanua
  5. Kecmatan Telluwarue
  6. Kecamatan Wara
  7. Kematan Wara Barat
  8. Kecamaatan Wara Selatan
  9. Kecamatan Wara Timur
  10. Kecamatan Wara Utara

IV. Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:

  1. Angkona
  2. Burau
  3. Malili
  4. Mangkutana
  5. Nuha
  6. Sorowako
  7. Tomoni
  8. Tomoni Utara
  9. Towuti
  10. Wotu

Setelah Pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:

  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
  • Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.

MENUJU KESEMPURNAAN DENGAN KESEJATIAN

Entah karena faktor perjalanan pemahaman, atau karena faktor masukan dari orang lain, belakangan ada keindahan dan kesenangan tersendiri kalau saya bertutur melalui jalur cerita, lelucon, anekdot dan sejenisnya. Tidak hanya pendengar dan pembaca yang memberi respon positif, sayapun menikmati sekali pembicaraan yang keluar dari mulut ini melalui jalur-jalur ini. Mungkin benar apa yang pernah ditulis seorang pemikir India yang bernama Bhagawan Vyasa – sebagaimana dikutip salah satu serial buku Chicken Soup For The Soul – bahwa jembatan yang menghubungkan manusia dengan kebenaran bernama cerita.

Oleh karena alasan terakhirlah, kemudian ada kesibukan tambahan dalam hidup saya belakangan ini : mengumpulkan dan mengolah cerita. Dari sekian cerita yang sudah terkumpul dan telah digunakan sebagai kendaraan pemahaman buat pembaca dan audiensi, ada sebuah cerita yang terbukti bisa menggugah hidup banyak orang. Ia berkisah tentang seorang kaya raya yang baik hati dan memiliki empat isteri.

Di suatu pagi orang kaya tadi didatangi oleh sang kematian. Dengan sopan mahluk terakhir berucap begini : ‘Bapak yang baik hati, atas utusan Tuhan kami ditugaskan untuk menjemput. Cuman, karena kebaikan hati Bapak selama hidup, diizinkan oleh Tuhan untuk membawa satu di antara empat isteri Bapak’. Dengan tersenyum orang kaya ini memohon waktu untuk menemui keempat isterinya satu persatu.

Yang pertama dipanggil tentu saja isteri keempat. Seorang wanita muda yang cantik, dengan tubuh yang menawan, rambut panjang yang terurai dan tentu saja senyumnya yang indah dan manis. Namun, betapa terkejutnya orang kaya tadi mendengar jawaban terhadap ajakan untuk menemani suaminya ke dunia kematian. Wanita cantik tadi menolak ajakan suaminya dengan kata-kata kasar dan sarkastis.

Setelah menangis sambil menyesali hidupnya, orang kaya tadi memanggil isteri ketiga dengan ajakan yang sama. Wanita ini menjawab dengan bahasa yang lebih sopan : ‘maafkan kanda, saya hanya bisa menemani kanda sampai di sini saja’. Kalau tadi seperti diterjang petir rasanya, kali ini Bapak kaya tadi seperti dihempas air bah. Lagi-lagi ia menangis menyesali seluruh hidupnya. Dengan semangat hampir putus asa, ia menemui isteri kedua dan mengemukakan ajakan yang sama. Isteri kedua menjawab lebih sopan lagi : ‘saya akan temani kanda, namun hanya sampai di liang lahat’. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali memanggil isteri pertama. Dan takjubnya, kendati isteri pertama tidak terlalu diperhatikan, jarang diajak makan, bahkan sering disakiti, dengan tersenyum wanita yang pipinya sudah penyok dan merah-merah ini menjawab begini : “saya akan menemani kanda sampai kapanpun dan sampai di manapun”.

Ilustrasi tentang empat isteri di atas, sebenarnya ilustrasi tentang isteri dan suami kehidupan. Semua orang memiliki empat isteri (suami) kehidupan. Isteri keempat yang paling seksi, paling menarik, menghabiskan paling banyak waktu, sehari-hari bernama harta dan tahta. Ia memang sejenis isteri yang menyita paling banyak waktu dan tenaga dalam hidup. Dalam kehidupan banyak orang, lebih dari separuh waktu dan tenaga teralokasi ke sini. Dan sebagaimana cerita di atas, siapa saja yang memperuntukkan waktu dan tenaga hanya untuk harta dan tahta, pasti menyesali kehidupannya di gerbang kematian.

Isteri ketiga yang juga mengkonsumsi waktu dan tenaga cukup banyak bernama tubuh atau badan kasar. Ini juga menghabiskan uang yang tidak sedikit. Dan jangan lupa, isteri yang ini hanya bisa menghantar kita sampai di tempat dan waktu di mana kita dipanggil sang kematian. Setelah itu, ia kita kembalikan ke pihak yang meminjamkan badan ini. Isteri kedua – yang hanya bisa menghantar kita sampai di liang lahat – adalah isteri, suami, putera-puteri serta kerabat dekat kita di rumah. Sesetia-setianya mereka, hanya akan bisa menemani kita sampai di kuburan saja. Setelah itu, mereka hanya menangis sambil kembali ke kehidupan masing-masing.

Dan isteri kita yang paling setia dan akan menemani kita kemanapun kita pergi, dan apapun yang kita lakukan terhadapnya ia hanya mengenal kesetiaan, kesetiaan dan kesetiaan, ia bernama sang jiwa. Atau, dalam sejumlah tradisi disebut dengan kata kesejatian.

Sayangnya, kendati ia yang paling setia, dalam keseharian ia juga yang paling jarang kita perhatikan. Dalam banyak kehidupan, ia malah kerap disakiti. Kebencian, kemarahan, permusuhan dan sejenisnya adalah serangkaian kegiatan yang memukuli sang jiwa. Kalau isteri kedua (badan kasar) kita beri makan setiap hari, kita hanya memberi makanan sang jiwa sekali-sekali saja. Ada bahkan yang tidak pernah memberikan makanan pada jiwanya. Dan kalau makanan badan kasar kita harus beli dan membayarnya, makanan sang jiwa dalam bentuk cinta, cinta dan cinta, ia tersedia gratis dalam jumlah yang tidak terbatas.

Kembali ke cerita awal tentang perjalanan menuju kesempurnaan, hanya isteri pertamalah yang bisa membawa kita ke sana. Bedanya dengan isteri-isteri lain yang egois, ia selalu mengingatkan kita bahwa jiwa bisa sehat walafiat kalau ketiga isteri yang lain juga kita perhatikan secara seimbang. Tertarikkah Anda untuk hidup dengan jalan-jalan kesejatian ?


gede prama

KOTA BELOPA

Kota Belopa adalah ibu kota baru Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Nama Belopa ini termasuk dikenal pada tahun 1960-an. Sebelumnya desa Belopa ini dikenal dengan nama La Belopa, yang bahasa daerah setempat berarti 'pelepah sagu' atau 'gaba-gaba'. Belopa resmi menjadi ibu kota Kabupaten Luwu sejak 13 Februari 2006 diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Amie Syam. Kabupaten Luwu menjadikan kota Belopa selaku ibu kota, setelah memindahkan ibu kota dari Palopo, karena Palopo menjadi kota otonomi, hasil pemekaran dari Kabupaten Luwu, sehingga Kabupaten Luwu harus memindahkan ibu kota ke sebelah selatan, sekitar 50 km dari kota Palopo. Belopa terletak di pinggir jalan raya Trans-Sulawesi, suatu kecamatan yang terletak di antara kota Palopo dan kota Makassar.