Para santri pun akhirnya berkumpul lagi setelah beberapa
lama sebelumnya mereka menerima tugas dari sang kiai.
"Sudah mengerti pesan dalam surat itu?" tanya kiai, membuka
pertemuan kembali.
"Sudah, kiai, alhamdulillah," sahut salah seorang santri.
"Bagaimana isi pesan itu?"
Santri itu memperdengarkan bacaannya yang bagus atas surat
Al Ma'un. "Aroaital ladzi yukadzibu biddin ...," merdu
suaranya. Dan ia pun meneruskan pembacaan dan terjemahannya,
sampai selesai.
"Kamu?!" kata sang kiai kepada santri yang lain.
Santri itu pun mengulangi hal yang sama. Ia pun membaca
ayat-ayat suci itu, disertai terjemahannya.
Setelah para santri lain memberi jawaban yang sama, sang
kiai tak lagi meneruskan bertanya pada santri berikutnya. Ia
berkesimpulan, semua santri pasti akan berbuat serupa.
"Kalian belum mengerti kalau begitu. Kalian cuma hapal.
Mengerti dan hapal itu beda," katanya lagi, dengan intonasi
lembut seperti semula.
Kiai kita ini ialah pendiri perserikatan yang bernama
Muhammadiyah yang terkenal itu: Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Dialog ini terkenal di kalangan keluarga Muhammadiyah. Orang
Muhammadiyah menganggap "peristiwa" ini penting karena dalam
dialog itu terselip sebuah pesan jelas, bahwa agama tak cuma
minta dipahami, melainkan diamalkan. Ketika agama berhenti
pada titik pemahaman, saat itu mungkin agama diturunkan
derajadnya menjadi "cuma" sejenis filsafat.
Agama, dengan kata lain, dipreteli fungsi-fungsi sosialnya
yang begitu penting dan yang paling relevan dengan hidup
kemasyarakatan kita.
Syahdan, sejak dialog antara kiai dan santri itu lalu
didirikan sebuah panti asuhan, tempat menampung anak-anak
yatim-piatu. Langkah ini diambil KH Ahmad Dahlan untuk
memenuhi perintah yang dikandung di dalam surat Al Ma'un
tersebut. Ini merupakan contoh kongkret bagi para santrinya,
mengenai bagaimana mereka harus memahami kandungan isi kitab
suci Al Qur'an.
Di sana memang ada kalimat: "Tahukah kamu, orang-orang yang
mendustakan agama? " Dan dalam surat ini dijelaskan bahwa
orang yang menyia-nyiakan anak yatim serta tak memberi makan
orang miskin, dimasukkan dalam kategori dusta itu.
Agama diturunkan Tuhan buat manusia, dan bukan buat
kepentingan Tuhan itu sendiri. Tuhan sudah kelewat mulia,
kelewat luhur, kelewat kaya. Pendeknya ia tak perlu apa-apa
lagi.
Oleh karena itu, sekali lagi, pemahaman KH Ahmad Dahlan itu
sungguh sangat kontekstual buat situasi kita saat itu, dan
juga kini. Ayat-ayat suci sungguh bukan untuk dibaca,
dilagukan, dan dipertandingkan dari tingkat kabupaten sampai
tingkat nasional, melainkan untuk dimengerti, dipahami dan
dilaksanakan.
Sikap KH Ahmad Dahlan begitu tegas: ia tak ingin umat Islam
hanya menjadi "burung nyanyi", (seperti contoh para
santrinya) yang mengandalkan suara merdu. Baginya, yang
terpenting adalah tindakan dan amal nyata. Relevansi sosial
dari agama, pendeknya, merupakan hal yang penting. Mungkin
malah yang terpenting.
Ibadah puasa selama sebulan itu ditutup dengan lebaran.
Suasana khusu', penuh tirakat dan sikap prihatin yang
nampaknya dalam itu diakhiri dengan sebuah pesta: makan,
minum, rokok dan segala macam yang selama sebulan dilarang,
di hari itu halal semata hukumnya. Dan kita bersyukur.
Tradisi yang mewarnainya, dus sesuatu yang bukan bagian dari
ajaran, ialah sungkem pada orang-tua, mertua, bertemu sanak
keluarga, teman kongkow, teman ngaji, teman sekolah atau
kantor, dan juga para tetangga. Suasana gembira memancar di
tiap wajah. Hati pun terbuka buat saling memaafkan.
Urusan ibadah kita menjadi juga urusan nasional. Negara
mendapat untung, setidaknya dari penjualan benda-benda pos.
Permintaan dan pengiriman maaf tak bisa jalan tanpa amplop
dan perangko.
Pulang ke kampung juga merupakan tradisi lain yang ikut
mewarnai kemeriahan lebaran. Negara juga ikut terlibat dalam
acara ini. Mungkin juga memperoleh untung dari penjualan
tiket kereta, pesawat dan kapal laut, buat kepentingan
orang-orang yang bergembira ini.
Suasana tirakat tak boleh berlama-lama. Tuhan menghendaki
segala yang mudah, sederhana dan kepenak, bagi
hamba-hambaNya. Tapi persoalannya, jika puasa sebulan itu
dianggap media latihan hidup asketik, pengerahan segenap
kekuatan lahir dan batin untuk menangkap esensi serta makna
ajaran suciNya, apakah kemudian yang kita bawa "pulang" ke
dunia ini? Apa hasil pengembaraan rohaniah, yang bisa
kongkret kita abdikan buat kepentingan kemanusiaan?
Pertama-tama, barangkali harus diakui bahwa tak setiap hamba
memang telah "berhasil" menghayati esensi ajaran yang
terkandung dalam puasa. Mungkin kita ini masih pada tataran
"burung nyayi": kita baru hapal, dan belum mengerti, seperti
kata Kiai Dahlan tadi. Kita sibuk ngaji, sibuk bertilawatil
Qur'an, mungkin kurang sibuk berbuat.
Kecuali itu, dari tahun ke tahun, mungkin suasana "tirakat"
dalam bulan puasa semakin nampak berubah. Benar, kita masih
fasih bicara solidaritas sosial, kita juga punya kepedulian
terhadap kemiskinan, tapi bagaimanakah tindakan kita?
Acara buka puasa menggejala di mana-mana. Acara-acara
semacam itu sering berarti makan besar dan enak. Dan kita
boleh bertanya pada diri sendiri, berapa puluh kalikah acara
seperti itu kita hadiri selama sebulan itu?
Atas nama kekeluargaan, kangen-kangenan antara sesama teman
dalam organisasi ketika mahasiswa, kumpul tanpa suatu tujuan
tertentu selain buka bersama, atau bahkan dengan motivasi
bisnis, acara buka puasa bersama diadakan di hotel mewah.
Tak jadi soal memang, karena kita makin makmur. Tapi "kita"
di sini siapa gerangan orangnya? Nampaknya cuma kelas
menengah dan atas. Dengan kata lain, golongan rakyat yang
sehari penghasilannya 2-3 ribu, tak akan pernah ikut acara
macam ini.
Tak jadi soal juga memang, kalau kita tak ada kepedulian
terhadap mereka. Tak jadi soal kalau kita tak belajar
menaruh iba dan rasa kasih pada mereka yang di bawah, yang
tertindas.
Jarak antara sesama kita, sebenarnya jauh. Setidaknya, tak
sedekat yang kita bayangkan. Dan tak sedekat yang kita
gambarkan secara ideal bahwa tiap umat, menurut ajaran, satu
sama lain adalah saudara.
"Saudara yang bagaimana?" saya bertanya
Soal serius dalam hidup kita, umat, ialah bahwa kita lupa,
ajaran itu bukan realitas. Tapi kita sudah puas dengan semua
yang ideal. Dan berhentilah kita di tataran itu.
Maka kita pun menyanyikan lagu bahwa agama memperhatikan
yang miskin dan menyantuni yang yatim. Kita menyanyi dalam
arti sebenarnya karena kita lupa bahwa agama di situ
menuntut tindakan kita. Ucapan "Selamat Lebaran" yang kita
sampaikan pada mereka yang lebih miskin jadinya cuma ucapan
kosong atau setengah kosong, karena tanpa kita sertai
tindakan yang jelas bisa membebaskan mereka dari struktur
yang mengurung dan memiskinkan mereka itu.
Sebagai doa, ucapan kita jelas mulia. Tapi bagaimanapun, ia
belum merupakan doa yang membebaskan.
---------------
Mohammad Sobary,
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar