BELOPA MY CITY MY HOME I LOVE FULL
zwani.com myspace graphic comments

Senin, 15 Juli 2013

Sudahkah Cakka Melakukan Perubahan ???

Jeritan penderitaan, tangis pilu kedukaan, keluhan serba kekurangan atau rengkuhan keindahan dan senyuman kebahagiaan yg kita inginkan untuk menghias negeri ini ? dan bilakah saatnya kita memilih ???

Kita adalah waktu, yang setiap detiknya adalah kehilangan. Kecuali yang menanam biji kebaikan, setiap kehilangan menciptakan pohon masa depan. Waktu berlalu bagai kilat, masa lalu adalah masa silam , yang mendatang harus kita jemput. Maka dari itu kemarin dan hari esok di tentukan hari ini.

Setiap manusia, setiap kita, dan setiap umat memiliki kecenderungan untuk meraih sebuah kemenangan. Dan kemenangan itulah merupakan suatu agenda besar yang dimiliki oleh umat.
Upaya dalam meraih kemenangan itu hendaknya dilakukan dengan terus menerus dan tidak boleh berhenti meski telah memperolehnya. Dalam meraih sebuah kemenangan tersebut hendaknya setiap orang melakukan perubahan.

Perubahan yang dikehendaki, bukan sekedar merubah nama atau bentuk lahir suatu masyarakat, namun merubah suatu realita baru termasuk di dalamnya prinsip-prinsip pemikiran, moral, hukum, budaya, yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia. Perubahan yang kita cita-citakan dan idamkan bersama haruslah diraih secara bersama-sama dan dengan semangat yang sama pula. kita menyebutnya dengan akselerasi masyarakat substantif.

Perubahan yang diinginkan bersama adalah perubahan yang komprehensif dan substantif, meliputi seluruh bidang kehidupan dan sisi normatif bagi seluruh umat. Bukan sekedar perubahan yang sifatnya parsial dan hanya menjadi solusi sesaat, yang pada akhirnya akan kembali melahirkan masalah-masalah baru. Untuk itulah sangat dibutuhkannya peran pemuda yang bersungguh-sungguh dalam melakukan perubahan.

Dalam perspektif negara Indonesia, para foundhing fathers telah menetapkan, bahwa perubahan yang harus terjadi adalah terwujudnya kemerdekaan, kebersamaan, ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kedaulatan rakyat, dan yang terakhir adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana termaktub dalam konstitusi negara kita. Sebuah cita-cita besar dari sebuah perubahan.

Perubahan dimulai dari kelompok-kelompok kecil yang kreatif, atau meminjam bahasa Arnold Toynbee dengan istilah creative minority. Kelompok-kelompok kecil (minoritas), mungkin bisa berbentuk forum-forum diskusi, dari situlah konsep-konsep gerakan untuk perubahan itu digodok dengan matang.
Kalau di Luwu sudah adakah perubahan dilakukan oleh Cakka??? Au Ah Gelap??? Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang

Senin, 08 Oktober 2012

Politik Uang dalam Pemilihan Walikota Palopo 2013




Hiruk pikuk masyarakat Palopo dalam menghadapi pemilihan WalikotaPalopo untuk periode 2013-2018 begitu interest. Hal ini bisa dilihat dengan banyak calon yang muncul ke permukaan. Ini menandakan bahwa Palopo sekarang mengalami kemajuan yang luar biasa terutama di bidang sumber daya manusia.

Dan memang politik, begitu menarik hati, tidak memandang status dalam tatanan social masyarakat. Ada adagium dalam politik bahwa tidak ada lawan atau kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Tujuan orang berpolitik adalah kekuasaan. Seperti kata Mafioso italia berkata” kekuasaan itu lebih nikmat daripada bersenggama”.

Perkembangan politik di Palopo begitu mencengangkan, karena perubahan dukungan masyarakat bisa berubah-ubah setiap waktu. Fanatisme terhadap suatu kelompok tidak terlalu mengikat. Karena secara sosiologis masyarakat Palopo adalah masyarakat yang merdeka dari tekanan siapapun. Namun persaingan antara kandidat calon walikota Palopo, tidak akan terlepas dari politik uang yang seperti kanker ganas yang menggegoroti demokrasi, sehingga demokrasi tak lebih dari investasi untuk meraih kekayaan secara singkat dan menjanjikan. Demokrasi hanya symbol-simbol dalam pemilihan Walikota Palopo.

Politik dan Uang

Kekuatan uang dalam politik semakin menunjukan pengaruh luar biasa. Pengaruh itu dapat kita saksikan dalam bekerjanya fungsi-fungsi parlemen dalam hubungan dengan pemerintah, institusi negara dan sector swasta.

Pendeknya, legitimasi parpol dan parlemen sebagai instrument demokrasi modern untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.kini berada di titik nadir. Betul bahwa kehidupan politik hanya ladang perburuan rente ekonomi dan bukan kegiatn produktif.

Kian intimnya hubungan politik dan uang mungkin akan melanggengkan korupsi investif. Para pejabat dan pengusaha yang dekat kekuasaan semakin kaya entah uangnya berasal dari uang halal atau uang haram Celakanya mereka tidak ada kepentingan untuk membangun infrastruktur politik, social, ekonomi yang sehat untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan tetapi sekedar cash and carry.

Peran kekuatan uang

Mengapa kekuatan uang begitu memegang peran penting? Yang nyata untuk membiayai kendaraan parpol dan untuk kampaye yang memerlukan biaya besar.

Dalam system pemilu sekarang, biaya politik untuk pemenangan pemilu lebih ke kas kandidat bukan partai, sehingga mereka harus memperluas sumber pendanaan. Kandidat bupati yang melamar parpol peserta pemilu harus mengeluarkan dua kali untuk memenagi “pemilu internal” dan kampaye di daerah pemilihan.

Faktor ideologis mungkin mungkin bukan daya tarik politik karena warna ideology hampir tidak terlihat dalam dunia perpolitikan, selain hanya politik identitas. Di mata rakyat, kebanyakan belum ada contoh nyata hubungan politik dengan kesejahteraan umum. Maka jangan salahkan jika masyarakat lebih pragmatis menuntut keuntungan pribadi yang langsung daripada perbaikan kebijakan umum. Apabila hal ini terjadi, yang ada hanya penghisapan manusia oleh manusia (L’explotation de L’homme per L’homme)

Namun harapan kedepan, makin banyak pemilih Palopo yang rasional sekaligus mengingatkan untuk menghukum dan tidak memilih penguasa yang tidak berprestasi, mempunyai rapor merah, dan berbau busuk. Sehingga tujuan demokrasi tercapai yaitu keadilan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.


Andi Sidi Gazalba Wajuanna, http//:belopa.blogspot.com

Senin, 06 Agustus 2012

Berdebat untuk Menolak Harta


         Ada dua orang saleh yang terlibat transaksi jual beli tanah. Si pembeli mengolah tanahnya untuk ditanami, tetapi tiba-tiba ia menemukan sebuah bejana yang berisi penuh perhiasan emas. Ia memang seorang yang sangat wara’ (berhati-hati terhadap barang yang syubhat, apalagi yang haram), karena merasa bukan miliknya, ia membawa bejana berisi emas tersebut kepada penjual tanah, dan berkata, “Aku menemukan bejana berisi emas ini di tanah yang aku beli, ini pasti milikmu, ambillah!!”
            Sang penjual tanah, selain saleh ia juga sangat wara’ seperti halnya si pembeli tanah itu, ia berkata, “Saya menjual tanah dan segala apa yang ada di dalamnya, jadi perhiasan-perhiasan itu memang milikmu!!”
            “Tidak bisa,” Kata pembeli tanah lagi, “Aku hanya berniat (dan berakad) membeli tanahmu, dan tidak membeli emas-emasmu!!”
            Penjual tanah berkata, “Emas itu engkau temukan setelah tanah itu menjadi milikmu, jadi ia memang milikmu, bukan milikku!!”
            Begitulah, mereka terus berdebat untuk menolak memiliki bejana berisi perhiasan emas yang nilainya (harganya) tentu sangat tinggi. Hal itu mereka lakukan semata-mata karena tidak ingin ‘kemasukan’ dan memakan barang syubhat, yang akhirnya akan sangat menyulitkan mereka di yaumul hisaab kelak.
            Karena masing-masing tidak mau ‘mengalah’ untuk memiliki perhiasan-perhiasan tersebut, mereka membawa perkaranya ke seorang Hakim. Setelah masing-masing menceritakan permasalahan dan argumennya, sang Hakim hanya menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya, tetapi tampak sekali kekagumannya. Setelah berfikir sejenak, ia berkata, “Apakah kalian mempunyai anak!!”
            Salah seorang berkata, “Saya mempunyai anak laki-laki!!”
            Satunya lagi berkata, “Saya mempunyai anak perempuan!!”
            Sang Hakim berkata, “Nikahkanlah anak-anak kalian, dan berikan bejana berisi emas itu kepada mereka untuk bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya!!”
            Mereka berdua menerima solusi yang diputuskan Hakim, dan menikahkan anak-anak mereka.

Seorang Pendosa yang ‘Memprotes’ Allah


     Pada masa Nabi Musa AS, ada seorang lelaki dari umat beliau yang seringkali melakukan maksiat, tetapi tidak lama setelah itu ia bertaubat kepada Allah. Sayangnya lelaki ini masih ‘terkalahkan’ dengan hawa nafsu dan angan-angannya sehingga ia selalu mengulangi maksiat-maksiatnya. Namun demikian kesadarannya selalu muncul dan ia kembali bertaubat kepada Allah. Hal seperti itu terus berulang-ulang dilakukannya hingga duapuluh tahun lamanya.
      Suatu ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa tentang lelaki itu, “Wahai Musa, katakanlah kepada hamba-Ku si fulan bahwa Aku murka kepadanya!!”
            Nabi Musa menyampaikan firman Allah tersebut kepadanya, dan ia jadi sangat bersedih. Dalam kekalutannya karena dimurkai Allah, ia lari ke tengah padang yang luas. Di sana ia berseru, “Ya Allah, sudah habiskah rahmat-Mu, ataukah maksiatku membahayakan diri-Mu? Ya Allah, sudah habiskah simpanan maghfirah (ampunan)-Mu, ataukah Engkau telah kikir dengan hamba-hamba-Mu yang berdosa, dosa manakah yang lebih besar daripada ampunan-Mu? Ya Allah, kemuliaan ada di antara sifat-sifat-Mu yang qadim (telah ada sejak awal dan selalu ada, tidak akan pernah berakhir), sedangkan kehinaan ada di antara sifat-sifatku yang hadist (baru, diadakan/diciptakan dan akan berakhir), bagaimana bisa sifatku mengalahkan sifat-sifat-Mu? Ya Allah, apabila telah Engkau halangi hamba-Mu dari rahmat kasih-Mu, maka kepada siapa lagi mereka akan mengharapkan? Apabila Engkau telah menolak mereka, maka kepada siapa lagi mereka akan mengadu? Ya Allah, kalau memang rahmat-Mu telah habis, dan tidak ada jalan lagi kecuali dengan menyiksa aku, maka pikulkanlah kepadaku semua siksaan yang akan Engkau timpakan kepada semua hamba-hamba-Mu, aku ingin menebus mereka dengan diriku!!”
    Tidak ada yang diucapkannya dalam pelarian dan penyendiriannya di padang luas itu, kecuali kalimat-kalimat dalam seruan/munajatnya tersebut. Ia diliputi dengan penyesalan sehingga terlupa, tidak pernah lagi, atau tidak sempat lagi berbuat maksiat. Setelah berlalu beberapa waktu lamanya, Allah berfirman kepada Nabi Musa, “Hai Musa, pergilah engkau kepada hamba-Ku si fulan di padang sana, dan katakan kepadanya : Seandainya dosamu memenuhi bumi, Aku akan tetap melimpahkan ampunan kepadamu, setelah engkau mengenali-Ku dengan kekuasaan-Ku yang sempurna, ampunan dan rahmat-Ku yang tiada batasnya!!”
    Memang, semua pertanyaan atau pernyataan dalam munajatnya tersebut, jawabannya adalah tidak atau tidak ada, dan itu benar-benar diketahuinya, dan ia sangat meyakini kebenaran itu. Inilah suatu tingkat ma’rifat (pengenalan) kepada Allah yang dicapainya ketika ia ‘tenggelam’ dalam penyesalan atas dosa-dosanya, yang sedikit atau banyak berperan juga dalam mengundang ampunan Allah.
             Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW pernah menyabdakan, bahwa tidak ada suatu suara yang lebih dicintai Allah daripada suara seorang hamba yang berdosa, kemudian bertaubat, dan ia sangat sering menyeru atau menyebut nama-Nya, “Ya Allah, ya Allah,…ya Tuhanku, ya Tuhanku (ya Rabbii, ya Rabbii)!!”
            Maka Allah akan menjawab seruannya, walau hamba itu sendiri tidak mendengar-Nya, “Ya, ya, (labbaik, labbaik) wahai hamba-Ku, mintalah yang engkau kehendaki, engkau di sisi-Ku seperti sebagian malaikat-malaikat-Ku, Aku berada di sisi kananmu, di sisi kirimu, di atasmu dan sangat dekat dengan isi harimu!! Wahai para malaikat-Ku, saksikanlah, sesungguhnya Aku telah mengampuninya!!”
            Dalam kesempatan lainnya, Nabi SAW juga bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang melakukan suatu dosa, kemudian ia masuk surga dengan sebab dosa itu!!”
            Para sahabat yang berkumpul di sekitar beliau tampak keheranan, dan salah satunya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana itu bisa terjadi??”
            Dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, “Karena yang terpampang di depan matanya hanyalah bertaubat dari dosa itu, dan ia terus saja berlari darinya (dari dosa itu) hingga akhirnya ia sampai di surga!!”

Minggu, 11 Desember 2011

Ingin Bahagia? Rawatlah Selalu Hatimu!

UMUMNYA orang beranggapan bahwa seseorang disebut sakit apabila ada gangguan pada fisiknya. Seperti sakit perut, sakit gigi, sakit jantung, kanker, atau bahkan stroke. Namun demikian sebenarnya ada juga sakit lain yang lebih besar dampaknya, tetapi jarang diperhatikan dan dipedulikan, yaitu “sakit hati” (yang berurusan dengan keimanan).
Kalau sakit fisik (maridh) seringkali disebabkan oleh faktor makanan, pola makan, dan gaya hidup tidak sehat. Akan tetapi jika “sakit hati” ini lebih dikarenakan kurangnya nutrisi iman, ilmu, dan suplemen dzikir pada diri seorang manusia.
Jika iman seseorang lemah, spirit berilmunya juga tidak ditingkatkan, plus ibadahnya kepada Allah juga awut-awutan, maka bisa dipastikan dia akan menjadi manusia yang jahil. Entah suka menggunjing saudaranya, banyak berbicara yang kurang bermanfaat, atau mungkin sampai pada tingkat suka menebar fitnah, bahkan suka mengambil hak orang lain secara dholim, naudzubillahi min dzalik.
Islam sangat mengutamakan kesehatan (lahir dan batin) dan menempatkannya sebagai kenikmatan kedua setelah Iman.
Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Mohonllah kepada Allah pngampunan, kesehatan dan keyakinan di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah tidak memberikan kepada seseorang setelah keyakinan (Iman) yang lebih baik daripada kesehatan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Abu BAkar, sahih sanadnya dari Ibnu Abbas)
“Sakit hati” bisa menimpa siapa saja. Ia tak kenal usia, gender, suku, keturunan, dan apapun juga, termasuk atribut sosial. Entah camat, bupati, gubernur, menteri bahkan presiden. Semua berpeluang terkena yang dampaknya sangat serius bagi kelangsungan kehidupan ummat manusia.
Uniknya, “sakit hati” hampir tidak mempengaruhi fisik manusia. Orang yang “sakit hati”nya tidak akan pernah mengeluh kesakitan bahwa hatinya sedang sakit. Berbeda dengan sakit fisik, ia akan mudah terdeteksi dan disadari dengan segera oleh sang penderita.
Maka dari itu jargon yang pernah mengatakan, “Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat” (men sana incorporesano) tidak selamanya benar. Buktinya sederhana, pelaku perampokan tidak ada yang cacat fisik. Malahan tubuh mereka bisa dikatakan besar bahkan mungkin kekar.
Jargon di atas lebih tidak terbukti lagi jika melihat gaya sebagian besar selebritis wanita yang cantik, namun suka memamerkan aurat, cipika-cipiki dengan lawan jenis di depan kamera. Jika orangtua kita dulu melihat perilaku tersebut mereka pasti akan mengatakan tindakan tersebut sangat tidak baik. Namun hari ini, semua itu justru harus dilakukan, dengan mengatasnamakan profesionalisme. Oleh karena itu, sebagian dari mereka melakukan tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam itu dengan penuh kebanggaan, dan tanpa penyesalan sedikitpun.
Demikian pula halnya dengan para koruptor. Umumnya mereka terdidik, mengerti sopan santun, pandai membuat regulasi. Baju dan pakaian yang mereka kenakan selain bajunya bagus-bagus juga rapi. Namun berbeda seratus delapan puluh derajat antara penampilan fisik dengan kondisi hatinya. Mereka suka mengambil hak orang lain, mengabaikan amanah, bahkan terbiasa bersilat lidah (berdusta) dan ujungnya tetap saja “mencuri”.
Banyak dari kita hanya memperhatikan aspek jasmani (fisik) tetapi lalai terhadap urusan “hati” (ruhaninya). Untuk urusan fisik, seseorang rela mengeluarkan kocek ratusan juta. Bahkan jika perlu melakukan ceck kesehatan ke luar negeri. Ironisnya jarang di antara mereka yang sengaja menjadwalkan diri untuk menuntut ilmu, mendekatkan diri kepada Allah atau bermuhasabah untuk kebaikan “hati’nya.
Indikasi “Sakit Hati”
Indikasi terkuat seseorang terjangkit penyakit “hati” ialah, seringnya melakukan dosa dan ia tidak peduli dengan dosa yang diperbuatnya. Apalagi ia merasa rizki yang Allah berikan kepadanya juga terbilang cukup bahkan lebih. Apabila kita menemukan situasi seperti ini maka waspadalah!
Sebab rasulullah saw pernah bersabda, “Apabila engkau melihat seorang hamba masih mendapatkan karunia dunia dari Allah sesuka hatinya, sementara ia masih gemar melakukan maksiat, sesungguhnya karunia itu tidak lain adalah istidraj. Kemudian rasulullah saw membaca QS. Al-An’am: 44.” (HR. Ahmad).
Secara umum istidraj adalah anugerah yang masih dan terus Allah berikan kepada manusia yang suka bermaksiat kepada-Nya. Jadi jangan salah kaprah, kenapa orang yang berdosa justru kaya? Itu semua tidak berarti Allah menyayangi orang tersebut. Sebaliknya, Allah sengaja memberikan apa yang diinginkan agar jelas statusnya kelak sebagai orang yang menghadap kepada-Nya dengan penuh dosa.
Allah berfirman;
فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُواْ بِمَا أُوتُواْ أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُواْ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِي
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa dengan sekonyong-konyong, maka seketika itu mareka terdiam berputus asa. Maka orang-orang zhalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-An’am: 44-45).
Orang yang istidraj akan menganggap berbuat dosa itu nikmat. Ia akan sadar akan kekeliruannya manakala rumah tangganya telah hancur berantakan, dijauhi oleh teman-teman dekatnya, banyak tertimpa musibah dan kesulitan, atau mengalami kebangkrutan yang menyeretnya tenggelam dalam gelombang depresi yang luar biasa hebat, dan akhirnya, bagi yang gagal kembali kepada jalan yang benar, akan berakhir pada kehilangan akal sehat (gila).
Merawat Hati
Jadi, mari kita bersama-sama berupaya untuk senantiasa melakukan check-up terhadap “hati” kita. Apakah “hati” ini sudah sangat gemar membaca al-Qur’an atau malah suka mengolok-olok teman. Apakah “hati” kita sudah cinta kepada kebaikan atau malah cenderung berbuat keburukan.
Agar “hati” kita tetap sehat, kita harus selalu menjaga dan merawatnya dengan memperbanyak dzikir, membaca al-Qur’an, senantiasa berusaha mencintai ilmu, dan berhati-hati dalam berucap dan bertindak.
Sebab jika tidak maka kita akan mengalami kerugian besar. Rasulullah saw telah memberikan satu isyarat penting bahwa kita harus merawat “hati”. Beliau bersabda, “Dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.” (HR Imam Al-Bukhari).
Agar “hati” baik, maka mengingat Allah adalah solusinya. Sebagaimana firman-Nya, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. 13: 28).
Ibarat tumbuhan, untuk hidup, tubuh butuh nutrisi. Nutrisi "hati" adalah banyak-banyak berdzikir dan menyebut Allah. Baik saat shalat atau tidak. Juga bertafakkur, berpuasa dan melakukan amalan-alaman kebaikan lain.
Mengapa berdzikir? karena dzikrullah (memperbanyak mengingat Allah), adalah ibadah agung yang bisa dilakukan di manapun, dalam keadaan apapun.
Oleh karena itu, marilah menjaga dan menata "hati", bisa kita jadikan sebagai prioritas penting dalam hidup ini.
Jika “hati” yang sehat itu menempel pada orang yang kaya, ia akan menjadi orang yang merelakan hartanya untuk agama, untuk Allah dan Rasul-Nya. Seperti Sayyidah Khadijah, Rasulullah saw, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka terjaga dari sifat sombong, sum’ah, ujub seperti Fir’aun, Qarun, dan Haman.
Apabila “hati” yang sehat itu ada pada orang yang miskin dan penuh kekurangan, maka hasil-nya ia akan menjadi orang yang qana’ah, sabar serta penuh kesyukuran. Singkat kata, apapun yang terjadi, jika “hati” kita sehat niscaya kita akan bahagia. Sebab “hati” yang sehat adalah “hati” yang selalu ingat kepada-Nya. Wallahu a’lam.*/Iman Nawawi

Jumat, 25 November 2011

TENTANG CINTA DAN WAKTU


Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak. Ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan, dsb. Mereka hidup berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu, dan air laut tiba-tiba naik, akan menenggelamkan pulau tersebut. Semua penghuni mulai cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Cinta mulai kebingungan, karena ia tidak dapat berenang dan tidak memiliki perahu. Ia berdiri di tepi pantai untuk mencoba mencari pertolongan. Sementara itu, air makin naik membasahi kaki cinta.

Tak lama kemudian, Cinta melihat Kekayaan sedang mendayung perahu. “Kekayaan, Kekayaan, tolong aku”, teriak Cinta. “Aduh maaf cinta, perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tidak dapat membawamu, nanti perahuku tenggelam. Lagipula tidak ada lagi tempat bagimu di perahu ini”, kata Kekayaan. Lalu kekayaan kembali bergegas mendayung perahunya untuk pergi. Cinta merasa sedih sekali.

Namun kemudian Cinta melihat Kegembiraan lewat dengan perahunya. “Kegembiraan, tolong aku”, teriak Cinta. Namun Kegembiraan terlalu gembira karena ia dapat menemukan perahu, sehinga ia tidak mendengar teriakan Cinta. Air semakin tinggi membasahi Cinta sampai ke pinggangnya, sehingga Cinta semakin panik.

Tidak lama kemudian, lewatlah Kecantikan. “Kecantikan, bawalah aku bersamamu”, pinta Cinta. “Wah Cinta, lihatlah. Kamu basah dan kotor, aku tidak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini”, sahut Kecantikan. Cinta sedih sekali mendengarnya, ia mulai menangis terisak-isak.

Saat itu lewatlah Kesedihan, “Wahai Kesedihan, bawalah aku bersamamu”, Cinta meminta untuk ikut bersamanya. “Maaf Cinta, aku sedang sedih, dan aku ingin sendirian saja”, kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya. Cinta putus asa, ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya.

Pada saat itu terdengar suara, “Cinta, mari cepat naik ke perahuku”. Cinta menoleh ke arah suara tersebut, dan melihat seorang tua dengan perahunya. Dengan cepat-cepat Cinta langsung menaiki perahu tersebut tepat sebelum air menenggelamkannya.

Di pulau terdekat, orang tua tersebut menurunkan Cinta dan segera pergi. Pada saat itu barulah ia sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapakah orang tua yang telah memberi pertolongan sehingga dirinya selamat. Cinta segera menanyakan pada seorang penduduk di pulau tersebut, siapa sebenarnya orang tua tadi.

“Pak, siapakah orang tua tadi??”, tanya Cinta. “Oh, orang tua tadi?! Dia adalah sang waktu”, kata penduduk. “Tapi mengapa ia menyelamatkanku? Aku tidak mengenalnya, bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku”, Cinta heran.

Dan penduduk itu pun menjawab, “Hanya waktulah yang tahu, berapalah nilai yang sesungguhnya dari Cinta itu”.

Minggu, 20 November 2011

Belajar Rendah Hati dari Nelayan

Pada suatu sore yang cerah, seorang cendekiawan ingin menikmati pemandangan laut dengan menyewa sebuah perahu nelayan dari tepi pantai. Setelah harga sewa
per jam disepakati, keduanya melaut tidak jauh dari bibir pantai. Melihat nelayan terus bekerja keras mendayung perahu tanpa banyak bicara, sang cendekiawan
bertanya: "Apa bapak pernah belajar ilmu fisika tentang energi angin dan matahari?"
"Tidak" jawab nelayan itu singkat.
Cendekiawan melanjutkan " Ah, jika demikian bapak telah kehilangan seperempat peluang kehidupan Bapak"
Nelayan cuma mengangguk-angguk membisu.
"APa bapak pernah belajar sejarah filsafat?" tanya cendikiawan.
"Belum pernah" jawab nelayan itu singkat sambil menggeleng-gelengka n kepalanya.
Cendekiawan melanjutkan " Ah, jika demikian bapak telah kehilangan seperempat lagi peluang kehidupan Bapak". Si Nelayan kembali cuma mengangguk-angguk
membisu.
"Apa bapak pernah belajar dan bisa berkomunikasi dengan bahasa asing?" tanya cendikiawan.
"Tidak bisa" jawab nelayan itu singkat.
"Aduh, jika demikian bapak total telah kehilangan tigaperempat peluang kehidupan Bapak"
Tiba-tiba... ..
Angin kencang bertiup keras dari tengah laut. Perahu yang mereka tumpangi pun oleng hampir terguling. Dengan tenang Nelayan bertanya kepada cendekiawan
" Apa bapak pernah belajar berenang?"
Dengan suara gemetar dan muka pucat ketakutan, orang itu menjawab "Tidak pernah"
Nelayanpun memberi komentar dengan percaya diri "Ah, jika demikian, bapak telah kehilangan semua pe luang hidup bapak"...... ......... ......... ......... .

Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah di atas:

list of 3 items
• Jangan meninggikan diri lebih hebat dari orang lain
• Jangan sombong, sebab akan direndahkan Tuhan
• Kita semua memiliki keterbatasan dan memerlukan orang lain.