Meskipun gengsi itu tidak enak dimakan, sering dalam hidup
ini kita mati-matian memburunya. Demi gengsi orang bersedia
melakukan apa saja, berapa pun besar ongkos dan risikonya.
Banyak tindakan melawan hukum, tata susila dan moral,
dilakukan demi mengejar gengsi.
Lain orang lain pula simbol-simbol yang dipandang bergengsi.
Unsur etnis, kesukuan, agama, tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan, jenis kelamin dan tingkat usia seseorang, sering
mewarnai perbedaan-perbedaan tadi.
Unsur lokal (di daerah mana atau kompleks apa) seseorang
tinggal, juga mempengaruhi corak perbedaan gengsi tadi. Di
kompleks perumahan sederhana, orang masih bisa bangga betapa
ia baru pulang dari Blok M membeli mesin cuci atau video.
Pekerjaan "mulia" itu biasanya diemban oleh, maaf agak terus
terang, kaum ibu.
Di kalangan sarjana, lain lagi ulah orang untuk menunjukkan
gengsi ini. Pernah seorang doktor dari Indonesia memberi
ceramah di Universitas Monash, Australia, di depan mahasiswa
Indonesia. Dalam sepuluh dari tiga puluh menit ceramahnya ia
sibuk bicara tentang dirinya, termasuk bahwa ia murid Ivan
Illich dan Rostow yang beken itu.
Arti simbolik dari "pidato"-nya itu pun merupakan usaha
menunjukkan gengsi untuk menimbulkan efek "wah". Memang
banyak orang terkesima mendengar murid Rostow itu bicara.
Namun ada juga yang tampak gelisah. Saya malah mengantuk.
Ketika ceramah selesai, orang pun menggerutu. Katanya,
ceramahnya tidak bermutu. Saya tidak setuju. Mana bisa
doktor tidak bermutu?
"Kamu tidur kok bisa tidak setuju," gerutu salah seorang.
Maksud saya, mutu sudah terang ada, cuma tak setinggi langit
harapan kita. Memang salah para pendengar. Mereka terlalu
banyak berharap. Orang sering keliru, dikiranya kualitas
luar negeri (dan murid sarjana kenamaan) mesti hebat.
Sebenarnya, kita musti sepaham dulu dalam dua hal: bahwa
kebesaran guru belum tentu merembes ke murid, dan bahwa
doktor haruslah pertama-tama dilihat, apa boleh buat, cuma
sebagai lambang selesainya sebuah proses administratif.
Artinya, tak usah dulu bicara tentang kemampuan akademisnya.
Namun, apa yang terjadi di sekitar kita memang lain. Kita
terlanjur menilai, doktor itu sebuah gengsi akademis yang
tinggi. Sikap seorang doktor dengan orang awam pun jadinya
ada keserupaan. Mereka, pada dasarnya, kelewat bangga
terhadap gengsi. Kenyataan tidak seimbangnya gelar dengan
kemampuan akademis, atau, tak seimbangnya gengsi dengan
esensinya sebagai seorang doktor, merupakan soal lain.
Kita lihat saja, misalnya, betapa gigih mahasiswa sekadar
mengejar lulus demi gelar. Jadi demi gengsi. Dan bukan
memburu esensi. Sudah barang tentu sikap mereka salah. Tapi
kurang adil kita menimpakan kesalahan hanya pada para
pemburu gengsi itu. Soalnya, mungkin kita semua punya
kontribusi terhadap terbentuknya sikap dan orientasi hidup
seperti itu. Mungkin kita semua sudah gila gengsi.
Membanggakan mantan guru, almamater, jabatan, orang tua,
atau gelar akademis, diam-diam lalu menjadi lumrah. Tidak
punya kemandirian dianggap biasa. Jarang jadinya orang yang
berani bersikap lugas, apa adanya. Kalau toh ada juga, itu
sebuah kekecualian.
Beberapa bulan lalu, saya berkenalan dengan seorang yang
rambutnya mulai memutih. Saya sulit menduga sebagai apa dia.
Dia hanya mengaku bekerja di sebuah departemen, yang saya
tahu pusat penelitiannya baik. Tapi ketika saya tanya apakah
dia peneliti, dengan datar dia menjawab: "Saya cuma
birokrat."
Tak ada kesan apa-apa di wajahnya. Di masyarakat kita,
birokrat sering dipandang remeh. Setidak-tidaknya gelar
birokrat tampak tak seluhur cendekiawan, dramawan, penyair
atau ahli ini ahli itu. Citra birokrat terlanjur negatif.
Pengakuan "saya cuma birokrat" itu lalu terasa mengesankan
kegetiran. Tapi mungkin juga keberanian. Penasaran saya
jadinya. Dari orang lain akhirnya saya tahu, dia bukan
sembarang orang. Dia seorang Dirjen. Kabarnya, Menteri
pernah menawarinya rumah di Menteng. Tapi dia menolak. Lebih
suka dia tinggal di rumah sederhana yang dibelinya sendiri.
Sebagai birokrat, rumus kerjanya cuma dua: "Bikin tiap orang
yang keluar dari kamarmu tersenyum bahagia. Jadikan
jabatanmu sarana ngibadah (beribadah)".
Saya kagum. Saleh orang ini. Tak banyak di negeri kita orang
yang bicara tentang jabatan sebagai sarana ngibadah.
Umumnya, jabatan dijadikan wahana mewujudkan impian-impian
dan sarana menjunjung tinggi (secara sosial, ekonomi, dan
politis) gengsi keluarga, anak cucu dan para cicit.
---------------
Mohammad Sobary,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar