Syeikh Muhammad Abduh, seorang intelektual Muslim asal Mesir, pernah mengungkapkan kesannya setelah berkeliling Eropa bahwa bangsa Eropa adalah bangsa non-Muslim yang mengikuti ajaran Islam, sedang kita adalah bangsa yang memeluk Islam tapi tidak mengikuti ajaran dan spirit Islam yang sejati.
Salah satu dari wujud keislaman orang Eropa tercermin dalam kepribadian seseorang bernama Alfred B. Nobel (1833-1896) seorang insinyur dan ahli kimia berkebangsaan Swedia. Dia adalah seorang inventor jenius yang menemukan dinamit, karet sintetis, sutra artifisial, kulit sintetis, dan lain-lain. Dia pemegang tak kurang dari 350 hak paten di bidang sains. Selain itu Alfred Nobel juga seorang pecinta sastra dan telah menulis sejumlah puisi dan novel. Pada saat meninggalnya dia meninggalkan lebih dari 1.500 buku, dari karya fiksi sampai filsafat.
Sebagai inventor teknologi, tak heran bila dia kaya raya. Akan tetapi kekayaannya yang senilai USD 9 juta itu tidak dihambur-hamburkan atau diwariskan pada anak-anaknya. Sebaliknya justru dia wasiatkan untuk membentuk yayasan pemberi penghargaan kepada “those who, during the preceding year, shall have conferred the greatest benefit on mankind (mereka yang, pada tahun sebelumnya, telah memberikan manfaat terbesar pada kemanusiaan)” tanpa memandang bangsa, ras dan agama.
Penghargaan yang paling bergengsi tersebut diberikan setiap tahun dalam enam bidang yaitu perdamaian, sastra, fisika, kimia, kedokteran dan ekonomi. Apa yang dilakukan oleh Alfred Nobel ini betul-betul sesuai dengan spirit Islam untuk memberi rahmat bagi seluruh alam (Al Anbiya’ ayat 107).
Ironisnya, kita umat Islam yang notabene sebagai penyandang ajaran dan spirit Islam yang bernilai universal justru bersikap sebaliknya. Kalangan kaya Muslim tidak hanya enggan memenuhi standar minimum zakat, infaq dan sadaqah. Lebih dari itu, mereka justru menghambur-hamburkan hartanya untuk memenuhi kepuasan duniawi semata. Tidak cukupkah peringatan dan ancaman Allah bagi mereka yang kikir dan tamak seperti yang tersebut dalam Qur’an Surat Ali Imron 180, At Taubah 22, Al Lail 8, dan Surat Muhammad 38?
Adakah yang salah dengan keislaman umat Islam, sehingga “rahmat” itu tidak dirasakan bukan hanya oleh orang non-Muslim tapi juga oleh umat Islam sendiri yang membutuhkan? Mengapa kita hanya bisa memimpikan Albert Nobel-albert nobel Muslim tanpa dapat melihatnya dalam kenyataan?
Manusia, baik itu Muslim atau bukan, pada dasarnya merupakan makhluk yang paling mencintai dirinya sendiri (selfish) (QS 17:83). Sikap anti sosial ini semakin berkurang seiring dengan semakin tingginya pendidikan, karena pendidikan menciptakan visi (hikmah) yang akan membuatnya menjadi semakin civilized. Umat Islam, baik yang mampu atau yang miskin, umumnya terbelakang atau tidak maksimum pendidikannya.
Lemahnya pendidikan inilah salah satu problema lemahnya umat Islam dalam menangkap spirit dan semangat Quran. Betapa pentingnya pendidikan ini sehingga wahyu pertama yang diturunkan Allah pada Nabi-Nya secara eksplisit berkaitan dengan pendidikan (QS 96:1-5). Bangsa Barat sangat mengutamakan pendidikan, sehingga tidak heran merekalah yang lebih dulu menangkap hikmah (visi) spirit Islam. Karena sudah merupakan janji Allah untuk memberikan kemampuan hikmah pada siapa saja yang Ia kehendaki (QS 2:269).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar