A.S.Gazalba Wajuanna
(Kordinator Front Rakyat Luwu (FORTAL)
Tiap zaman membawa harapan yang berujung kekecewaan. Harapan biasanya ditaruh, di depan tempat paling muluk dalam ruang psikologi pribadi maupun social, dan kekecewaan menyusul sesudahnya. Ketika pada akhirnya, anyaman bagus-bagus tentang apa yang dibayangkan dan semua impian indah ternyata tercampak di batu karang kehidupan nyata yang gersang, getir, sumpek dan gelap.
Tata kehidupan kemasyarakatan dipenuhi suasana kejiwaan serba takut, skeptis, pesimis dan masyarakat kehilangan daya kritis dan nalar yang sehat. Hidup seperti telah kehilangan maknanya sendiri.
Suatu golongan tak lagi mempercayai golongan lain, orang-orang berbeda agama sulit berunding secara terbuka, karena kecurigaan dan permusuhan atas nama Tuhan, ini ironisnya, dianggap jalan suci dan mungkin dianggap kesucian itu sendiri.
Kekerasan antar pribadi, antar kelompok, juga antar kelas, berkembang , kita lalu terbiasa dengan kekerasan sebagai jalan hidup. Perbanditan, perperemanan, peras-memeras di jalanan, dimasyarakat bahkan juga dikantor-kantor, lama-lama menjadi bagian hidup normal.
Aparat keamanan tidak lumpuh, tetapi kelihatan tidak berdaya, dan hukum hanya hidup di dalam kitab-kitab dan dibagian paling idelistis dalam jiwa warga masyarakat yang masih agak waras. Perpolitikan resmi dilembaga-lembaga resmi dan diantara tokoh-tokoh resmi yang memegang kendali kekuasaan dan kotrol atas kekuasaan, terdengar cuma sayup-sayup karena sukar betul membedakan wajah politik dan wajah kriminalitas. Jalan politik dan jalan kriminil berhimpitan rapat, seolah sudah menjadi satu.
Kaum lemah yang terkena perkara, dan harus membela diri, tak tahu ke mana bertanya dan kepada siapa minta perlindungan. Mereka sukar diyakinkan untuk percaya hukum, lembaga hukum dan para ahli hukum.
Pejabat Negara yang bersumpah sebagai orang taqwa dan berjanji lurus dalam segenap sepak terjangnya, hampir semua terperosok dalam lubang kemunafikan. Dan para tokoh tak mau mengakui diri mereka penakut, diam-diam menobatkan ketakutan mereka menjadi kearifan, dan tiap hari mengelus kearifan palsu itu dengan cara seperti dukun mengelus jimatnya.
Segala corak kepalsuan kita junjung tinggi. Kejujuran dengan sendirinya kita tolak. Dikantor-kantor misalnya orang jujur dijauhi, dielakkan dan dibuang jauh-jauh karena dianggap “klilip” berbahaya. Ia tak bisa diajak bersekongkol melakukan kejahatan kolektif.
Sekarang ini merupakan zaman edan, dimana zaman yang kaum terpelajarnya kehilangan kejernihan dan sikap kritis, cenderung membebek orang lain dan malas merumus sendiri artikulasi cerdas dan otensitas pemikiran. Mereka tampak betah dengan kedangkalan cara berpikir dan jangan-jangan sudah tidak berpikir dan tak malu sana-sini mengulang lagi dan lagi gagasan yang membosankan, hingga mereka bagaikan kaset bagi mereka sendiri.
Zaman edan juga ditandai kedangkalan cara memandang Tuhan dan sikap beragama. Para ustadz, guru agama dan rohaniawan memberi contoh salah: beragama hanya berarti sibuk melayani manusia agar memenuhi standar selamat dan bahagia fi dun ya wal akhirah dan sebagian rohaniawan atau mereka yang berlagak rohaniawan, hanya sibuk memperdagangkan agama dalam kancah politik dan tanpa malu mengatasnamakan Tuhan,yang netral, tak memihak, dan tidak berkepentingan dan mengabaikan kewajiban melayani manusia. Kebanyakan kita diajarkan membaca kitab suci untuk orang mati, bukan untuk orang yang hidup yang perlu sandang pangan dan papan secara konkret, perlu dibebaskan dari kebekuan berpikir agar menjadi cerdas secara intelek,emosi maupun spiritual hingga orang yang masih hidup lalu mngubah hidup menjadi lebih dinamik dan mengubah dunia ini menjadi lebih enak dihuni bersama secara nyaman, adil dan manusiawi.
Hidup di zaman edan, Kita semua disibukkan oleh perkara-perkara teknis, mengurus kulit-kulit masalah: cara-cara, aturan, prosedur dan bukan mengurus inti masalah. Ketika membahas hukum, kita bicara pasal-pasal, ketentuan, dan konvensi dan kita lupa akan ruh, atau jiwa hukum itu sendiri yaitu keadilan. Kita terkecoh, ibaratnya sibuk mencari kutu, memperdebatkan prosedur, tapi kita lupa memperjuangkan nasib rakyat yang sedang menderita.
Selebihnya, zaman edan juga ditandai ketidakberdayaan rakyat, kemiskinan, yang setiap saat terjepit, berharap datangnya ratu adil dan cargo cult yang menjawab kemiskinan mereka dibidang materi. Ini materialistis. Maka, demi zaman yang lebih cerah, cerdas dan cerdas secara spiritual, kita diminta mengubah tinggah laku tradisi dan mitos-mitos dan pandangan dunia, yang membikin kita tumpul, dungu dan linglung di zaman edan ini. Semoga kita makin banyak yang mempunyai “ wisdom”, keutamaan budi dan kebijakan.
Kata Bijak: Kehilangan milik tidak begitu penting. Kehilangan kehormatan adalah lebih parah tetapi yang celaka lagi ialah kehilangan keberanian (Goethe)