UMUMNYA
orang beranggapan bahwa seseorang disebut sakit apabila ada gangguan
pada fisiknya. Seperti sakit perut, sakit gigi, sakit jantung, kanker,
atau bahkan stroke. Namun demikian sebenarnya ada juga sakit lain yang
lebih besar dampaknya, tetapi jarang diperhatikan dan dipedulikan, yaitu
“sakit hati” (yang berurusan dengan keimanan).
Kalau sakit fisik (maridh) seringkali disebabkan oleh faktor makanan, pola makan, dan gaya hidup tidak sehat. Akan tetapi jika “sakit hati” ini lebih dikarenakan kurangnya nutrisi iman, ilmu, dan suplemen dzikir pada diri seorang manusia.
Jika iman seseorang lemah, spirit berilmunya juga tidak ditingkatkan, plus ibadahnya kepada Allah juga awut-awutan, maka bisa dipastikan dia akan menjadi manusia yang jahil. Entah suka menggunjing saudaranya, banyak berbicara yang kurang bermanfaat, atau mungkin sampai pada tingkat suka menebar fitnah, bahkan suka mengambil hak orang lain secara dholim, naudzubillahi min dzalik.
Islam sangat mengutamakan kesehatan (lahir dan batin) dan menempatkannya sebagai kenikmatan kedua setelah Iman.
Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Mohonllah kepada Allah pngampunan, kesehatan dan keyakinan di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah tidak memberikan kepada seseorang setelah keyakinan (Iman) yang lebih baik daripada kesehatan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Abu BAkar, sahih sanadnya dari Ibnu Abbas)
“Sakit hati” bisa menimpa siapa saja. Ia tak kenal usia, gender, suku, keturunan, dan apapun juga, termasuk atribut sosial. Entah camat, bupati, gubernur, menteri bahkan presiden. Semua berpeluang terkena yang dampaknya sangat serius bagi kelangsungan kehidupan ummat manusia.
Uniknya, “sakit hati” hampir tidak mempengaruhi fisik manusia. Orang yang “sakit hati”nya tidak akan pernah mengeluh kesakitan bahwa hatinya sedang sakit. Berbeda dengan sakit fisik, ia akan mudah terdeteksi dan disadari dengan segera oleh sang penderita.
Maka dari itu jargon yang pernah mengatakan, “Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat” (men sana incorporesano) tidak selamanya benar. Buktinya sederhana, pelaku perampokan tidak ada yang cacat fisik. Malahan tubuh mereka bisa dikatakan besar bahkan mungkin kekar.
Jargon di atas lebih tidak terbukti lagi jika melihat gaya sebagian besar selebritis wanita yang cantik, namun suka memamerkan aurat, cipika-cipiki dengan lawan jenis di depan kamera. Jika orangtua kita dulu melihat perilaku tersebut mereka pasti akan mengatakan tindakan tersebut sangat tidak baik. Namun hari ini, semua itu justru harus dilakukan, dengan mengatasnamakan profesionalisme. Oleh karena itu, sebagian dari mereka melakukan tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam itu dengan penuh kebanggaan, dan tanpa penyesalan sedikitpun.
Demikian pula halnya dengan para koruptor. Umumnya mereka terdidik, mengerti sopan santun, pandai membuat regulasi. Baju dan pakaian yang mereka kenakan selain bajunya bagus-bagus juga rapi. Namun berbeda seratus delapan puluh derajat antara penampilan fisik dengan kondisi hatinya. Mereka suka mengambil hak orang lain, mengabaikan amanah, bahkan terbiasa bersilat lidah (berdusta) dan ujungnya tetap saja “mencuri”.
Banyak dari kita hanya memperhatikan aspek jasmani (fisik) tetapi lalai terhadap urusan “hati” (ruhaninya). Untuk urusan fisik, seseorang rela mengeluarkan kocek ratusan juta. Bahkan jika perlu melakukan ceck kesehatan ke luar negeri. Ironisnya jarang di antara mereka yang sengaja menjadwalkan diri untuk menuntut ilmu, mendekatkan diri kepada Allah atau bermuhasabah untuk kebaikan “hati’nya.
Indikasi “Sakit Hati”
Indikasi terkuat seseorang terjangkit penyakit “hati” ialah, seringnya melakukan dosa dan ia tidak peduli dengan dosa yang diperbuatnya. Apalagi ia merasa rizki yang Allah berikan kepadanya juga terbilang cukup bahkan lebih. Apabila kita menemukan situasi seperti ini maka waspadalah!
Sebab rasulullah saw pernah bersabda, “Apabila engkau melihat seorang hamba masih mendapatkan karunia dunia dari Allah sesuka hatinya, sementara ia masih gemar melakukan maksiat, sesungguhnya karunia itu tidak lain adalah istidraj. Kemudian rasulullah saw membaca QS. Al-An’am: 44.” (HR. Ahmad).
Secara umum istidraj adalah anugerah yang masih dan terus Allah berikan kepada manusia yang suka bermaksiat kepada-Nya. Jadi jangan salah kaprah, kenapa orang yang berdosa justru kaya? Itu semua tidak berarti Allah menyayangi orang tersebut. Sebaliknya, Allah sengaja memberikan apa yang diinginkan agar jelas statusnya kelak sebagai orang yang menghadap kepada-Nya dengan penuh dosa.
Allah berfirman;
فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُواْ بِمَا أُوتُواْ أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُواْ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِي
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa dengan sekonyong-konyong, maka seketika itu mareka terdiam berputus asa. Maka orang-orang zhalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-An’am: 44-45).
Orang yang istidraj akan menganggap berbuat dosa itu nikmat. Ia akan sadar akan kekeliruannya manakala rumah tangganya telah hancur berantakan, dijauhi oleh teman-teman dekatnya, banyak tertimpa musibah dan kesulitan, atau mengalami kebangkrutan yang menyeretnya tenggelam dalam gelombang depresi yang luar biasa hebat, dan akhirnya, bagi yang gagal kembali kepada jalan yang benar, akan berakhir pada kehilangan akal sehat (gila).
Merawat Hati
Jadi, mari kita bersama-sama berupaya untuk senantiasa melakukan check-up terhadap “hati” kita. Apakah “hati” ini sudah sangat gemar membaca al-Qur’an atau malah suka mengolok-olok teman. Apakah “hati” kita sudah cinta kepada kebaikan atau malah cenderung berbuat keburukan.
Agar “hati” kita tetap sehat, kita harus selalu menjaga dan merawatnya dengan memperbanyak dzikir, membaca al-Qur’an, senantiasa berusaha mencintai ilmu, dan berhati-hati dalam berucap dan bertindak.
Sebab jika tidak maka kita akan mengalami kerugian besar. Rasulullah saw telah memberikan satu isyarat penting bahwa kita harus merawat “hati”. Beliau bersabda, “Dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.” (HR Imam Al-Bukhari).
Agar “hati” baik, maka mengingat Allah adalah solusinya. Sebagaimana firman-Nya, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. 13: 28).
Ibarat tumbuhan, untuk hidup, tubuh butuh nutrisi. Nutrisi "hati" adalah banyak-banyak berdzikir dan menyebut Allah. Baik saat shalat atau tidak. Juga bertafakkur, berpuasa dan melakukan amalan-alaman kebaikan lain.
Mengapa berdzikir? karena dzikrullah (memperbanyak mengingat Allah), adalah ibadah agung yang bisa dilakukan di manapun, dalam keadaan apapun.
Oleh karena itu, marilah menjaga dan menata "hati", bisa kita jadikan sebagai prioritas penting dalam hidup ini.
Jika “hati” yang sehat itu menempel pada orang yang kaya, ia akan menjadi orang yang merelakan hartanya untuk agama, untuk Allah dan Rasul-Nya. Seperti Sayyidah Khadijah, Rasulullah saw, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka terjaga dari sifat sombong, sum’ah, ujub seperti Fir’aun, Qarun, dan Haman.
Apabila “hati” yang sehat itu ada pada orang yang miskin dan penuh kekurangan, maka hasil-nya ia akan menjadi orang yang qana’ah, sabar serta penuh kesyukuran. Singkat kata, apapun yang terjadi, jika “hati” kita sehat niscaya kita akan bahagia. Sebab “hati” yang sehat adalah “hati” yang selalu ingat kepada-Nya. Wallahu a’lam.*/Iman Nawawi
Kalau sakit fisik (maridh) seringkali disebabkan oleh faktor makanan, pola makan, dan gaya hidup tidak sehat. Akan tetapi jika “sakit hati” ini lebih dikarenakan kurangnya nutrisi iman, ilmu, dan suplemen dzikir pada diri seorang manusia.
Jika iman seseorang lemah, spirit berilmunya juga tidak ditingkatkan, plus ibadahnya kepada Allah juga awut-awutan, maka bisa dipastikan dia akan menjadi manusia yang jahil. Entah suka menggunjing saudaranya, banyak berbicara yang kurang bermanfaat, atau mungkin sampai pada tingkat suka menebar fitnah, bahkan suka mengambil hak orang lain secara dholim, naudzubillahi min dzalik.
Islam sangat mengutamakan kesehatan (lahir dan batin) dan menempatkannya sebagai kenikmatan kedua setelah Iman.
Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Mohonllah kepada Allah pngampunan, kesehatan dan keyakinan di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah tidak memberikan kepada seseorang setelah keyakinan (Iman) yang lebih baik daripada kesehatan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Abu BAkar, sahih sanadnya dari Ibnu Abbas)
“Sakit hati” bisa menimpa siapa saja. Ia tak kenal usia, gender, suku, keturunan, dan apapun juga, termasuk atribut sosial. Entah camat, bupati, gubernur, menteri bahkan presiden. Semua berpeluang terkena yang dampaknya sangat serius bagi kelangsungan kehidupan ummat manusia.
Uniknya, “sakit hati” hampir tidak mempengaruhi fisik manusia. Orang yang “sakit hati”nya tidak akan pernah mengeluh kesakitan bahwa hatinya sedang sakit. Berbeda dengan sakit fisik, ia akan mudah terdeteksi dan disadari dengan segera oleh sang penderita.
Maka dari itu jargon yang pernah mengatakan, “Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat” (men sana incorporesano) tidak selamanya benar. Buktinya sederhana, pelaku perampokan tidak ada yang cacat fisik. Malahan tubuh mereka bisa dikatakan besar bahkan mungkin kekar.
Jargon di atas lebih tidak terbukti lagi jika melihat gaya sebagian besar selebritis wanita yang cantik, namun suka memamerkan aurat, cipika-cipiki dengan lawan jenis di depan kamera. Jika orangtua kita dulu melihat perilaku tersebut mereka pasti akan mengatakan tindakan tersebut sangat tidak baik. Namun hari ini, semua itu justru harus dilakukan, dengan mengatasnamakan profesionalisme. Oleh karena itu, sebagian dari mereka melakukan tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam itu dengan penuh kebanggaan, dan tanpa penyesalan sedikitpun.
Demikian pula halnya dengan para koruptor. Umumnya mereka terdidik, mengerti sopan santun, pandai membuat regulasi. Baju dan pakaian yang mereka kenakan selain bajunya bagus-bagus juga rapi. Namun berbeda seratus delapan puluh derajat antara penampilan fisik dengan kondisi hatinya. Mereka suka mengambil hak orang lain, mengabaikan amanah, bahkan terbiasa bersilat lidah (berdusta) dan ujungnya tetap saja “mencuri”.
Banyak dari kita hanya memperhatikan aspek jasmani (fisik) tetapi lalai terhadap urusan “hati” (ruhaninya). Untuk urusan fisik, seseorang rela mengeluarkan kocek ratusan juta. Bahkan jika perlu melakukan ceck kesehatan ke luar negeri. Ironisnya jarang di antara mereka yang sengaja menjadwalkan diri untuk menuntut ilmu, mendekatkan diri kepada Allah atau bermuhasabah untuk kebaikan “hati’nya.
Indikasi “Sakit Hati”
Indikasi terkuat seseorang terjangkit penyakit “hati” ialah, seringnya melakukan dosa dan ia tidak peduli dengan dosa yang diperbuatnya. Apalagi ia merasa rizki yang Allah berikan kepadanya juga terbilang cukup bahkan lebih. Apabila kita menemukan situasi seperti ini maka waspadalah!
Sebab rasulullah saw pernah bersabda, “Apabila engkau melihat seorang hamba masih mendapatkan karunia dunia dari Allah sesuka hatinya, sementara ia masih gemar melakukan maksiat, sesungguhnya karunia itu tidak lain adalah istidraj. Kemudian rasulullah saw membaca QS. Al-An’am: 44.” (HR. Ahmad).
Secara umum istidraj adalah anugerah yang masih dan terus Allah berikan kepada manusia yang suka bermaksiat kepada-Nya. Jadi jangan salah kaprah, kenapa orang yang berdosa justru kaya? Itu semua tidak berarti Allah menyayangi orang tersebut. Sebaliknya, Allah sengaja memberikan apa yang diinginkan agar jelas statusnya kelak sebagai orang yang menghadap kepada-Nya dengan penuh dosa.
Allah berfirman;
فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُواْ بِمَا أُوتُواْ أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُواْ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِي
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa dengan sekonyong-konyong, maka seketika itu mareka terdiam berputus asa. Maka orang-orang zhalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-An’am: 44-45).
Orang yang istidraj akan menganggap berbuat dosa itu nikmat. Ia akan sadar akan kekeliruannya manakala rumah tangganya telah hancur berantakan, dijauhi oleh teman-teman dekatnya, banyak tertimpa musibah dan kesulitan, atau mengalami kebangkrutan yang menyeretnya tenggelam dalam gelombang depresi yang luar biasa hebat, dan akhirnya, bagi yang gagal kembali kepada jalan yang benar, akan berakhir pada kehilangan akal sehat (gila).
Merawat Hati
Jadi, mari kita bersama-sama berupaya untuk senantiasa melakukan check-up terhadap “hati” kita. Apakah “hati” ini sudah sangat gemar membaca al-Qur’an atau malah suka mengolok-olok teman. Apakah “hati” kita sudah cinta kepada kebaikan atau malah cenderung berbuat keburukan.
Agar “hati” kita tetap sehat, kita harus selalu menjaga dan merawatnya dengan memperbanyak dzikir, membaca al-Qur’an, senantiasa berusaha mencintai ilmu, dan berhati-hati dalam berucap dan bertindak.
Sebab jika tidak maka kita akan mengalami kerugian besar. Rasulullah saw telah memberikan satu isyarat penting bahwa kita harus merawat “hati”. Beliau bersabda, “Dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.” (HR Imam Al-Bukhari).
Agar “hati” baik, maka mengingat Allah adalah solusinya. Sebagaimana firman-Nya, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. 13: 28).
Ibarat tumbuhan, untuk hidup, tubuh butuh nutrisi. Nutrisi "hati" adalah banyak-banyak berdzikir dan menyebut Allah. Baik saat shalat atau tidak. Juga bertafakkur, berpuasa dan melakukan amalan-alaman kebaikan lain.
Mengapa berdzikir? karena dzikrullah (memperbanyak mengingat Allah), adalah ibadah agung yang bisa dilakukan di manapun, dalam keadaan apapun.
Oleh karena itu, marilah menjaga dan menata "hati", bisa kita jadikan sebagai prioritas penting dalam hidup ini.
Jika “hati” yang sehat itu menempel pada orang yang kaya, ia akan menjadi orang yang merelakan hartanya untuk agama, untuk Allah dan Rasul-Nya. Seperti Sayyidah Khadijah, Rasulullah saw, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka terjaga dari sifat sombong, sum’ah, ujub seperti Fir’aun, Qarun, dan Haman.
Apabila “hati” yang sehat itu ada pada orang yang miskin dan penuh kekurangan, maka hasil-nya ia akan menjadi orang yang qana’ah, sabar serta penuh kesyukuran. Singkat kata, apapun yang terjadi, jika “hati” kita sehat niscaya kita akan bahagia. Sebab “hati” yang sehat adalah “hati” yang selalu ingat kepada-Nya. Wallahu a’lam.*/Iman Nawawi