Cinthya membunyikan klakson beberapa kali di depan pagar rumahnya. “Ugh,
kemana saja orang rumah, kok ga ada satupun yang membukakan pagar,”
gumam Cintyha dalam hati. Dibunyi...kan nya lagi klakson mobil agak
lama. Dari dalam rumah, keluar sosok pria berjalan agak tergopoh-gopoh.
Cintyha segera beranjak turun dari mobil.
“Kok mas yang buka
pagar, si mbok kemana?” tanya Cithya heran pada suaminya. “Masuklah
dulu, nanti didalam aku ceritakan.” Jawab Bimo, suami Cintyha sambil
membukakan pagar. Cintyha naik kembali ke mobil, dan segera memasukkan
mobilnya ke garasi rumahnya.
“Memang si mbok kemana sih mas?”
tanya Cinthya lagi pada suaminya, setelah mereka berdua sama-sama duduk
di meja makan. “Si mbok minta ijin pulang, anaknya sakit, ga ada yang
ngurus. Ya, aku ijinkan.” Jawab Bimo.
Cinthya kaget ,”Mas ini
gimana sih, kok ga bilang-bilang ke aku, kan bisa telpon mas, kalo si
mbok pulang, trus yang ngurus rumah siapa, aku kan sibuk di kantor, kamu
gimana sih,” kata Cinthya pada suaminya panjang lebar.
“Aku
tadi telpon-telpon kamu terus kok. tapi ga pernah kamu angkat. Aku
telpon ke sekretarismu, katanya kamu lagi meeting, aku telpon lagi, ga
diangkat lagi, trus kata sekretarismu lagi meeting lagi.” Bimo berkata
sambil meninggalkan Cinthya.
“Mas, aku kan belum selesai ngomong,
kok kamu udah pergi sih.” Cinthya berkata sambil mengejar Bimo ke dalam
kamar. “Aku cape de, nafasku sesak sejak tadi sore, karena si mbok
pulang terburu-buru, dia ga sempat menyiapkan makan malam untukku. Jadi
aku tadi ke warung depan sendiri. Aku mau istrahat dulu,” jawab Bimo.
Cinthya
cemberut sambil memandangi suaminya. Dibiarkan suaminya berjalan masuk
kamar seorang diri. Cinthya kembali duduk di kursi makan. Ia termenung.
Mengingat kembali saat-saat pertama kali menikah dengan Bimo.
Usia
mereka memang terpaut jauh, tujuh belas tahun. Waktu itu Bimo berumur
tiga puluh tujuh tahun, sedangkan Cinthya baru berumur dua puluh tahun.
Saat itu Cinthya sangat mengagumi sosok Bimo yang kebapaan, sangat
perhatian dengan Cinthya. Walau banyak pertentangan pada keluarga
masing-masing, namun berdua tetap bersikukuh untuk menikah.
Saat-saat
awal pernikahan, semua terasa indah bagi Cinthya, semua yang ia
bayangkan tentang sosok suami ideal, ada pada Bimo. Bimo juga mendukung
agar Cinthya melanjutkan pendidikan hingga S2. Karir Cinthya pun bagus,
sedangkan usaha Bimo semakin berkembang.
Masalah mulai muncul
saat lima tahun perkawinan, mereka belum juga dikaruniai seorang anak.
Walau telah berusaha hingga keluar negeri. Keduanya sehat, hanya saja
entah kenapa hingga tahun kelima, mereka belum juga mendapatkan anak.
Cinthyapun mulai melampiaskan rasa kecewanya ke pekerjaannya. Ia mulai
pulang malam, sering rapat di luar kota, meninggalkan suami hingga satu
minggu. Walaupun karirnya menanjak, namun waktu pertemuannya dengan Bimo
semakin berkurang.
Dan puncaknya adalah di tahun pernikahan
mereka yang kesepuluh. Bimo terserang penyakit gagal ginjal yang
menyebabkannya untuk melakukan cuci darah tiga bulan sekali. Cinthya
yang sedang berada di puncak karir merasa terganggu dengan penyakit yang
diderita Bimo, karena ia harus selalu ada di sisi suaminya pada saat
cuci darah, sedangkan ia pun tidak bisa meninggalkan pekerjaan di
kantornya.
Akhirnya ia memutuskan untuk mencari pembantu yang
khusus untuk merawat suaminya. Si mbok. Didatangkan dari kampungnya. Si
mboklah yang selama ini telaten mengurus Bimo. Saat ke rumah sakitpun
untuk cuci darah, Bimo ditemani dengan si mbok dan sopir Cinthya.
Karena
penyakit gagal ginjal yang diderita Bimo, maka perlahan, usaha Bimo pun
mengalami penurunan. Ia tak lagi bisa maksimal dalam bekerja. Banyak
pekerjaan yang diselesaikan di rumah, itupun masih harus dibantu oleh
beberapa karyawannya. Selain karena penyakitnya, usia Bimo yang
menginjak lima puluh pun turut memperngaruhi daya tahan fisiknya.
Akhirnya, Bimo pun memutusan untuk menjual asset perusahaannya dan
menginvestasikan uangnya.
Hal inilah yang membuat Cinthya kecewa.
Ia malu dengan rekan-rekan bisnisnya. Ia malu karena suaminya tidak
bekerja lagi dan hanya tinggal di rumah.
Cinthya memandang pintu
kamar. Ingin rasanya masuk ke kamar untuk beristirahat, namun ketika ia
ingat kembali Bimo, rasanya malas sekali untuk berbaring di samping
suaminya itu. Cinthya kecewa, karena sejak Bimo menderita penyakit, ia
seperti orang yang putus asa, bagi Cinthya, hari-hari Bimo hanya
dihabiskan untuk meratapi nasibnya. Itulah yang membuat Cinthya kecewa.
Seadainya Bimo lebih semangat, lebih optimis, lebih berusaha lagi, ya
seandainya….. gumam Cinthya dalam hati.
Akhirnya Cinthya masuk ke
dalam kamarnya. Di tatapnya Bimo. Ditatapnya obat-obat disamping tempat
tidur suaminya. Ada kurang lebih lima jenis obat yang harus rutin
diminum Bimo setiap harinya. Cinthya memandangi wajah Bimo lekat-lekat.
Wajah yang dulu begitu gagah, badan yang dulu begitu tegap. Kini badan
itu mulai menghitam, wajah Bimo pun ikut menghitam karena cuci darah
yang ia lakukan. Badan Bimo saat ini kurus, kulitnya mengerut. Mas, kamu
keliatan lebih tua dari usiamu, resah Cinthya dalam hati.
Perlahan,
Cinthya mengusap kepala Bimo. Rambut yang dulu tebal, kini mulai rontok
dan memutih. Cinthya meneteskan air matanya. Inilah pria yang dulu
sangat aku cintai. Dulu…. bagaimana dengan sekarang Cinthya??.... tanya
Cinthya sendiri dalam hati. Mas, kamu begitu baik padaku, selama sepuluh
tahun menikah, tak sekalipun kamu membentakku, apapun mauku, kamu
selalu berusaha untuk memenuhinya, kamu juga tidak pernah protes jika
aku banyak menghabiskan waktu di kantor, menghabiskan waktu untuk
bertemu klien, dan masih banyak lagi….
Cinthya membuka laptopnya,
masih ada beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan. Jam menunjukkan
pukul satu dini hari. Cinthya masih berkutat dengan data-data. Tak sadar
ia akan kehadiran Bimo disampingnya. Bimo menepuk pelan bahunya. “Sudah
shalat Isya de?” tanya Bimo. Cinthya kaget. “Belum sempat,” jawabnya
sambil tetap memandang layar laptopnya. “Mas ngapain, kok malam-malam
bangun?” tanya Cinthya. “Aku mau shalat tahajud de.” Jawab Bimo.
“Duuuhhh,
mas kok ga istrahat aja sih, nanti kalo kecapean lagi gimana? Si mbo
kan masih di kampung, belum tau pulangnya kapan, aku kan besok harus
meeting, nanti kalau mas kumat bagaimana?” Kata Cinthya panjang lebar.
Bimo tak memperdulikannya. Ia tetap berjalan ke kamar mandi untuk
berwudhu.
Cinthya menutup laptopnya. Pikirannya kacau, tidak bisa
konsentrasi. Ia pun memutuskan untuk tidur. Besok aku tidak boleh
terlambat, gumamnya dalam hati. Cinthya mendengar suara Bimo sedang
berdoa, sayup-sayup Cinthya mendengar suara isak Bimo. Cinthya menutup
rapat kupingnya dengan bantal. Ukh, cengeng banget sih, sakit kok
diratapi, bukannya dihadapi, ketus Cinthya dalam hati.
………………………………………………………………………………
Sore
itu Cinthya memutuskan untuk pulang lebih lebih cepat. Ia ingin
istirahat di rumah. Hari ini adalah hari yang melelahkan. Pagi hari ia
bertemu klien dan langsung presentasi. Siang ia meeting lagi dengan
beberapa anak perusahaan untuk mempersiapkan target tahun depan. Yang
terbayang di benak Cinthya hanyalah kamarnya yang nyaman dan dingin.
Cinthya sudah tidak sabar.
Tiba-tiba Cinthya menghetikan mobilnya
dengan mendadak. Ia bingung. Kenapa jalan menuju rumahnya ramai, ada
bendera kuning. Ada tetangga yang meninggal rupanya, gumam Cinthya dalam
hati.
Tiba-tiba, sorang lelaki mendekati mobilnya. “Maaf, ibu
Bimo yah, bisa turun sebentar bu, saya pak Irwan ketua RT ibu, saya mau
bicara sebentar dengan ibu ,” kata pria itu. “Oh ya, sebentar, saya
parkir mobil dulu” jawab Cinthya bingung.
“Maaf sekali lagi bu,
tadi saya dan beberapa tetangga sudah mencoba menghubungi telpon ibu
berkali-kali, tapi selalu sibuk, saya hubungi sekretaris ibu, katanya
ibu lagi rapat dan tidak bisa diganggu.” Jelas pak RT pada Cinthya.
“Iya, memang saya hari ini sibuk sekali pak, memangnya ada apa ya pak,
oya, siapa tetangga kita yang meninggal pak?”tanya Cinthya.
“Silakan
ibu duduk dulu,” pak RT mempersilakan Cinthya untuk duduk. “Maaf pak,
sebelumnya, bukannya saya menolak untuk berbincang dengan bapak, tapi
saya hari ini capek sekali, saya ingin cepat pulang dan istrahat, maaf
ya pak,” jelas Cinthya sambil hendak meninggalkan pak RT. “Bu, yang
meninggal suami ibu, bapak Bimo, tadi jam sebelas siang.” Cinthya kaget.
Ia tak mampu berkata, ditatapnya pak RT tak percaya. Cinthya pu
pingsan.
………………………………………………………………………………
Cinthya menatap
wajah kaku suaminya. Mas Bimo. Maafkan aku mas. Aku tidak ada
disampingmu. Cinthya menggenggam tangan suaminya. Dingin. Wajah Bimo
seperti orang yang sedang tidur. Bibirnya menyunggingkan senyum tulus.
Cinthya kembali menangis.
“Cin, ini, ada surat dari Bimo.” suara
Rudi, adik Bimo mengagetkannya. Cinthya mengambil surat yang ada di
tangan Rudi. “Sebaiknya dibaca nanti saja, sekarang kita urus jenazah
kakak dulu.” Kata Rudi, seakan mengerti apa yang hendak Cinthya lakukan.
Sore
itu, para pelayat mengantarkan Bimo ke tempat perisirahatannya yang
terakhir. Diiringi rintik hujan dan angin yang semilir. Cinthya berjalan
pelan di belakang jenazah Bimo. Rudi, adik iparnya sebenarnya sudah
melarang Cinthya utuk ikut ke kuburan, namun Cinthya menolak, ia
bersikukuh untuk ikut.
Perlahan, jenazah Bimo dimasukkan ke liang kubur, Cinthya tak kuasa menahan tangisnya. Hingga iapun kembali pingsan.
………………………………………………………………………………
Cinthya masih memandang surat itu, ia menyesal atas kelakuannya
akhir-akhir ini. Dibukanya kembali surat dari Bimo, dan dibacanya
kembali…
“Cinthya, aku minta maaf tidak bisa memberi
kebahagiaan seperti yang kamu harapkan. Tidak bisa memberimu kebanggaan.
Aku terlalu lemah menghadapi penyakit ku. Aku tau, kamu malu dengan
teman-temanmu, malu dengan kondisiku yang sakit-sakitan dan tidak
mempunyai usaha lagi. Cinthya, aku sangat menyayangimu, aku tidak mau
menyusahkanmu. Aku akan memberikan semua milikku untukmu. Rumah ini dan
beberapa investasiku, sudah aku hibahkan atas namamu. Kamu tidak usah
susah-susah lagi bekerja de, tidak usah kerja sampai malam lagi, tidak
usah pergi ke luar kota lagi untuk mendapatkan klien. Semua sudah aku
urus dengan Rudi. Aku hanya ingin kita bisa seperti dulu lagi,
menghabiskan waktu berdua. Berdiskusi berdua. Jalan-jalan berdua. Tapi
aku sadar, kamu pasti tidak mau de, dan aku mengerti, usiamu masih muda,
masih banyak yang ingin kamu capai. Aku mengerti de.
Karena
itu, aku memutuskan untuk tinggal di kampung, aku sudah menghubungi si
mbok, dan si mbok bersedia untuk menjagaku. Sebenarnya aku ingin pamit
denganmu, tapi sulit sekali untuk menemukan waktu berbicara denganmu de,
bahkan untuk sekedar telpon pun kamu begitu sibuk. Tapi, aku mengerti
de, aku sangat mengerti.
Jika surat ini kamu baca, aku
sudah dalam perjalanan ke kampung bersama Rudi. Jaga diri kamu ya de,
sungguh, ini aku lakukan bukan karena aku tidak mencintaimu, justru aku
tidak ingin merepotkanmu dengan penyakitku ini. Di dalam lemari, sudah
aku siapkan surat-surat pemilikan beberapa rumah serta saham dan
tabungan.
De, aku sangat berharap kamu mau menyusulku ke
kampung. Kita mulai lagi hidup yang baru. Namun, jika kamu tidak mau,
aku sangat memahami, aku sangat mengerti.”
Bimo yang selalu mencintai kamu, Cinthya, istriku…