BELOPA MY CITY MY HOME I LOVE FULL
zwani.com myspace graphic comments

Selasa, 22 Juli 2008

BOGOR


GENGSI

Meskipun gengsi itu tidak enak dimakan, sering dalam hidup
ini kita mati-matian memburunya. Demi gengsi orang bersedia
melakukan apa saja, berapa pun besar ongkos dan risikonya.
Banyak tindakan melawan hukum, tata susila dan moral,
dilakukan demi mengejar gengsi.

Lain orang lain pula simbol-simbol yang dipandang bergengsi.
Unsur etnis, kesukuan, agama, tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan, jenis kelamin dan tingkat usia seseorang, sering
mewarnai perbedaan-perbedaan tadi.

Unsur lokal (di daerah mana atau kompleks apa) seseorang
tinggal, juga mempengaruhi corak perbedaan gengsi tadi. Di
kompleks perumahan sederhana, orang masih bisa bangga betapa
ia baru pulang dari Blok M membeli mesin cuci atau video.
Pekerjaan "mulia" itu biasanya diemban oleh, maaf agak terus
terang, kaum ibu.

Di kalangan sarjana, lain lagi ulah orang untuk menunjukkan
gengsi ini. Pernah seorang doktor dari Indonesia memberi
ceramah di Universitas Monash, Australia, di depan mahasiswa
Indonesia. Dalam sepuluh dari tiga puluh menit ceramahnya ia
sibuk bicara tentang dirinya, termasuk bahwa ia murid Ivan
Illich dan Rostow yang beken itu.

Arti simbolik dari "pidato"-nya itu pun merupakan usaha
menunjukkan gengsi untuk menimbulkan efek "wah". Memang
banyak orang terkesima mendengar murid Rostow itu bicara.
Namun ada juga yang tampak gelisah. Saya malah mengantuk.
Ketika ceramah selesai, orang pun menggerutu. Katanya,
ceramahnya tidak bermutu. Saya tidak setuju. Mana bisa
doktor tidak bermutu?

"Kamu tidur kok bisa tidak setuju," gerutu salah seorang.

Maksud saya, mutu sudah terang ada, cuma tak setinggi langit
harapan kita. Memang salah para pendengar. Mereka terlalu
banyak berharap. Orang sering keliru, dikiranya kualitas
luar negeri (dan murid sarjana kenamaan) mesti hebat.

Sebenarnya, kita musti sepaham dulu dalam dua hal: bahwa
kebesaran guru belum tentu merembes ke murid, dan bahwa
doktor haruslah pertama-tama dilihat, apa boleh buat, cuma
sebagai lambang selesainya sebuah proses administratif.
Artinya, tak usah dulu bicara tentang kemampuan akademisnya.

Namun, apa yang terjadi di sekitar kita memang lain. Kita
terlanjur menilai, doktor itu sebuah gengsi akademis yang
tinggi. Sikap seorang doktor dengan orang awam pun jadinya
ada keserupaan. Mereka, pada dasarnya, kelewat bangga
terhadap gengsi. Kenyataan tidak seimbangnya gelar dengan
kemampuan akademis, atau, tak seimbangnya gengsi dengan
esensinya sebagai seorang doktor, merupakan soal lain.

Kita lihat saja, misalnya, betapa gigih mahasiswa sekadar
mengejar lulus demi gelar. Jadi demi gengsi. Dan bukan
memburu esensi. Sudah barang tentu sikap mereka salah. Tapi
kurang adil kita menimpakan kesalahan hanya pada para
pemburu gengsi itu. Soalnya, mungkin kita semua punya
kontribusi terhadap terbentuknya sikap dan orientasi hidup
seperti itu. Mungkin kita semua sudah gila gengsi.

Membanggakan mantan guru, almamater, jabatan, orang tua,
atau gelar akademis, diam-diam lalu menjadi lumrah. Tidak
punya kemandirian dianggap biasa. Jarang jadinya orang yang
berani bersikap lugas, apa adanya. Kalau toh ada juga, itu
sebuah kekecualian.

Beberapa bulan lalu, saya berkenalan dengan seorang yang
rambutnya mulai memutih. Saya sulit menduga sebagai apa dia.
Dia hanya mengaku bekerja di sebuah departemen, yang saya
tahu pusat penelitiannya baik. Tapi ketika saya tanya apakah
dia peneliti, dengan datar dia menjawab: "Saya cuma
birokrat."

Tak ada kesan apa-apa di wajahnya. Di masyarakat kita,
birokrat sering dipandang remeh. Setidak-tidaknya gelar
birokrat tampak tak seluhur cendekiawan, dramawan, penyair
atau ahli ini ahli itu. Citra birokrat terlanjur negatif.

Pengakuan "saya cuma birokrat" itu lalu terasa mengesankan
kegetiran. Tapi mungkin juga keberanian. Penasaran saya
jadinya. Dari orang lain akhirnya saya tahu, dia bukan
sembarang orang. Dia seorang Dirjen. Kabarnya, Menteri
pernah menawarinya rumah di Menteng. Tapi dia menolak. Lebih
suka dia tinggal di rumah sederhana yang dibelinya sendiri.

Sebagai birokrat, rumus kerjanya cuma dua: "Bikin tiap orang
yang keluar dari kamarmu tersenyum bahagia. Jadikan
jabatanmu sarana ngibadah (beribadah)".

Saya kagum. Saleh orang ini. Tak banyak di negeri kita orang
yang bicara tentang jabatan sebagai sarana ngibadah.
Umumnya, jabatan dijadikan wahana mewujudkan impian-impian
dan sarana menjunjung tinggi (secara sosial, ekonomi, dan
politis) gengsi keluarga, anak cucu dan para cicit.

---------------
Mohammad Sobary,

TUHAN TERSENYUM

Don't take your organs to heaven
Heaven knows we need them here.

Pernahkah Tuhan tersenyum, atau melucu? Dalam kitab suci tak
saya temukan dua hal itu. Begitu juga dalam hadis nabi.
Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas. Pengajian saya
masih randah, kata orang Minang. Tapi kalau soalnya cuma
"adakah khatib yang melucu, atau marah," saya punya data.

Di tahun 1978, seorang khatib melucu di masjid UI
Rawamangun. Akibatnya, jemaah yang tadinya sudah liyep-liyep
jadi melek penuh. Mereka menyimak pesan Jumat, sambil
senyum. Tapi khatib ini tak cuma menghasilkan senyum itu. Ia
diganyang oleh khatib yang naik mimbar Jumat berikutnya.

"Agama bukan barang lucu," semburnya. "Dan tak perlu dibikin
lelucon. Mimbar Jumat bukan arena humor. Karena itu, sengaja
melucu dalam khotbah dilarang ..."

Vonis jatuh. Marah khatib kita ini. Dan saya mencatat
"tambahan" larangan satu lagi. Sebelum itu demonstrasi
mahasiswa sudah dilarang "yang berwajib". Senat dan Dewan
dibekukan. Milik mahasiswa yang tinggal satu itu, "melucu
buat mengejek diri sendiri", akhirnya dilarang juga.

Kita memang perlu norma. Tapi juga perlu kelonggaran. Maka,
saya khawatir kalau menguap di masjid bakal dilarang. Siapa
tahu, di rumah Allah hal itu tak sopan. Buat jemaah yang
suka menguap macam saya, karena jarang setuju dengan isi
khotbah, belum adanya larangan itu melegakan.

Saya dengar Komar dikritik banyak pihak. Soalnya, dalam
ceramah agamanya ia melucu. Tapi Komar punya alasan sahih.
Ia, konon, sering mengamati sekitar. Di kampungnya, banyak
anak muda tak tertarik pada ceramah agama.

"Mengapa?" tanya Pak Haji Komar.

"Karena isinya cuma sejumlah ancaman neraka."

Wah ... Itu sebabnya ia, yang memang pelawak, memberi warna
humor dalam ceramahnya. Dan remaja pun pada hadir.

Saya suka sufisme. Di sana Tuhan dilukiskan serba ramah. Dan
bukannya marah melulu macam gambaran kita. A'u dibaca angu,
tidak bisa. Dzubi jadi dubi, tidak boleh. Khotbah lucu,
jangan. Lho? Bukankah alam ini pun "khotbah" Tuhan? Langit
selebar itu tanpa tiang, bulan bergayut tanpa cantelan dan
aman, apa bukan "khotbah" maha jenaka? Apa salahnya humor
dalam agama?

Di tahun 1960-an, Marhaen ingin hidup mati di belakang Bung
Karno. Dalam humor, saya cukup di belakang Bung Komar.
Artinya, bagi saya, humor agama bikin sehat iman. Dus, tidak
haram jadah.

Di Universitas Monash saya temukan striker: "Jangan bawa
organmu ke surga. Orang surga sudah tahu kita lebih
memerlukannya di sini". Imbauan ini bukan dari Gereja,
melainkan dari koperasi kredit. Intinya: kita diajak
berkoperasi. Dengan itu kita santuni kaum duafa, kaum lemah.

Ini pun "khotbah" lucu. Dalam kisah sufi ada disebut cerita
seorang gaek penyembah patung. Ia menyembah tanpa pamrih.
Tapi di usia ke-70 ia punya kebutuhan penting. Doa pun
diajukan. Sayang, patung itu cuma diam. Kakek kecewa. Ia
minta pada Allah. Dan ajaib: dikabulkan.

Bukan urusan dia bila masalah kemudian timbul, sebab
Allah-lah, bukan dia, yang diprotes oleh para malaikat.

"Mengapa ya, Allah, Kaukabulkan doa si kakek? Lupakah Kau ia
penyembah patung? Bukankah ia kafir yang nyata?"

Allah senyum. "Betul," jawabnya, "Tapi kalau bukan Aku,
siapa akan mengabulkan doanya? Kalau Aku pun diam, lalu apa
bedanya Aku dengan patung?"

Siang malam aku pun berdoa, semoga humor kaum sufi ini tak
dilarang.

---------------
Mohammad Sobary,

DOA YANG TAK MEMBEBASKAN

Para santri pun akhirnya berkumpul lagi setelah beberapa
lama sebelumnya mereka menerima tugas dari sang kiai.

"Sudah mengerti pesan dalam surat itu?" tanya kiai, membuka
pertemuan kembali.

"Sudah, kiai, alhamdulillah," sahut salah seorang santri.

"Bagaimana isi pesan itu?"

Santri itu memperdengarkan bacaannya yang bagus atas surat
Al Ma'un. "Aroaital ladzi yukadzibu biddin ...," merdu
suaranya. Dan ia pun meneruskan pembacaan dan terjemahannya,
sampai selesai.

"Kamu?!" kata sang kiai kepada santri yang lain.

Santri itu pun mengulangi hal yang sama. Ia pun membaca
ayat-ayat suci itu, disertai terjemahannya.

Setelah para santri lain memberi jawaban yang sama, sang
kiai tak lagi meneruskan bertanya pada santri berikutnya. Ia
berkesimpulan, semua santri pasti akan berbuat serupa.

"Kalian belum mengerti kalau begitu. Kalian cuma hapal.
Mengerti dan hapal itu beda," katanya lagi, dengan intonasi
lembut seperti semula.

Kiai kita ini ialah pendiri perserikatan yang bernama
Muhammadiyah yang terkenal itu: Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Dialog ini terkenal di kalangan keluarga Muhammadiyah. Orang
Muhammadiyah menganggap "peristiwa" ini penting karena dalam
dialog itu terselip sebuah pesan jelas, bahwa agama tak cuma
minta dipahami, melainkan diamalkan. Ketika agama berhenti
pada titik pemahaman, saat itu mungkin agama diturunkan
derajadnya menjadi "cuma" sejenis filsafat.

Agama, dengan kata lain, dipreteli fungsi-fungsi sosialnya
yang begitu penting dan yang paling relevan dengan hidup
kemasyarakatan kita.

Syahdan, sejak dialog antara kiai dan santri itu lalu
didirikan sebuah panti asuhan, tempat menampung anak-anak
yatim-piatu. Langkah ini diambil KH Ahmad Dahlan untuk
memenuhi perintah yang dikandung di dalam surat Al Ma'un
tersebut. Ini merupakan contoh kongkret bagi para santrinya,
mengenai bagaimana mereka harus memahami kandungan isi kitab
suci Al Qur'an.

Di sana memang ada kalimat: "Tahukah kamu, orang-orang yang
mendustakan agama? " Dan dalam surat ini dijelaskan bahwa
orang yang menyia-nyiakan anak yatim serta tak memberi makan
orang miskin, dimasukkan dalam kategori dusta itu.

Agama diturunkan Tuhan buat manusia, dan bukan buat
kepentingan Tuhan itu sendiri. Tuhan sudah kelewat mulia,
kelewat luhur, kelewat kaya. Pendeknya ia tak perlu apa-apa
lagi.

Oleh karena itu, sekali lagi, pemahaman KH Ahmad Dahlan itu
sungguh sangat kontekstual buat situasi kita saat itu, dan
juga kini. Ayat-ayat suci sungguh bukan untuk dibaca,
dilagukan, dan dipertandingkan dari tingkat kabupaten sampai
tingkat nasional, melainkan untuk dimengerti, dipahami dan
dilaksanakan.

Sikap KH Ahmad Dahlan begitu tegas: ia tak ingin umat Islam
hanya menjadi "burung nyanyi", (seperti contoh para
santrinya) yang mengandalkan suara merdu. Baginya, yang
terpenting adalah tindakan dan amal nyata. Relevansi sosial
dari agama, pendeknya, merupakan hal yang penting. Mungkin
malah yang terpenting.

Ibadah puasa selama sebulan itu ditutup dengan lebaran.
Suasana khusu', penuh tirakat dan sikap prihatin yang
nampaknya dalam itu diakhiri dengan sebuah pesta: makan,
minum, rokok dan segala macam yang selama sebulan dilarang,
di hari itu halal semata hukumnya. Dan kita bersyukur.

Tradisi yang mewarnainya, dus sesuatu yang bukan bagian dari
ajaran, ialah sungkem pada orang-tua, mertua, bertemu sanak
keluarga, teman kongkow, teman ngaji, teman sekolah atau
kantor, dan juga para tetangga. Suasana gembira memancar di
tiap wajah. Hati pun terbuka buat saling memaafkan.

Urusan ibadah kita menjadi juga urusan nasional. Negara
mendapat untung, setidaknya dari penjualan benda-benda pos.
Permintaan dan pengiriman maaf tak bisa jalan tanpa amplop
dan perangko.

Pulang ke kampung juga merupakan tradisi lain yang ikut
mewarnai kemeriahan lebaran. Negara juga ikut terlibat dalam
acara ini. Mungkin juga memperoleh untung dari penjualan
tiket kereta, pesawat dan kapal laut, buat kepentingan
orang-orang yang bergembira ini.

Suasana tirakat tak boleh berlama-lama. Tuhan menghendaki
segala yang mudah, sederhana dan kepenak, bagi
hamba-hambaNya. Tapi persoalannya, jika puasa sebulan itu
dianggap media latihan hidup asketik, pengerahan segenap
kekuatan lahir dan batin untuk menangkap esensi serta makna
ajaran suciNya, apakah kemudian yang kita bawa "pulang" ke
dunia ini? Apa hasil pengembaraan rohaniah, yang bisa
kongkret kita abdikan buat kepentingan kemanusiaan?

Pertama-tama, barangkali harus diakui bahwa tak setiap hamba
memang telah "berhasil" menghayati esensi ajaran yang
terkandung dalam puasa. Mungkin kita ini masih pada tataran
"burung nyayi": kita baru hapal, dan belum mengerti, seperti
kata Kiai Dahlan tadi. Kita sibuk ngaji, sibuk bertilawatil
Qur'an, mungkin kurang sibuk berbuat.

Kecuali itu, dari tahun ke tahun, mungkin suasana "tirakat"
dalam bulan puasa semakin nampak berubah. Benar, kita masih
fasih bicara solidaritas sosial, kita juga punya kepedulian
terhadap kemiskinan, tapi bagaimanakah tindakan kita?

Acara buka puasa menggejala di mana-mana. Acara-acara
semacam itu sering berarti makan besar dan enak. Dan kita
boleh bertanya pada diri sendiri, berapa puluh kalikah acara
seperti itu kita hadiri selama sebulan itu?

Atas nama kekeluargaan, kangen-kangenan antara sesama teman
dalam organisasi ketika mahasiswa, kumpul tanpa suatu tujuan
tertentu selain buka bersama, atau bahkan dengan motivasi
bisnis, acara buka puasa bersama diadakan di hotel mewah.

Tak jadi soal memang, karena kita makin makmur. Tapi "kita"
di sini siapa gerangan orangnya? Nampaknya cuma kelas
menengah dan atas. Dengan kata lain, golongan rakyat yang
sehari penghasilannya 2-3 ribu, tak akan pernah ikut acara
macam ini.

Tak jadi soal juga memang, kalau kita tak ada kepedulian
terhadap mereka. Tak jadi soal kalau kita tak belajar
menaruh iba dan rasa kasih pada mereka yang di bawah, yang
tertindas.

Jarak antara sesama kita, sebenarnya jauh. Setidaknya, tak
sedekat yang kita bayangkan. Dan tak sedekat yang kita
gambarkan secara ideal bahwa tiap umat, menurut ajaran, satu
sama lain adalah saudara.

"Saudara yang bagaimana?" saya bertanya

Soal serius dalam hidup kita, umat, ialah bahwa kita lupa,
ajaran itu bukan realitas. Tapi kita sudah puas dengan semua
yang ideal. Dan berhentilah kita di tataran itu.

Maka kita pun menyanyikan lagu bahwa agama memperhatikan
yang miskin dan menyantuni yang yatim. Kita menyanyi dalam
arti sebenarnya karena kita lupa bahwa agama di situ
menuntut tindakan kita. Ucapan "Selamat Lebaran" yang kita
sampaikan pada mereka yang lebih miskin jadinya cuma ucapan
kosong atau setengah kosong, karena tanpa kita sertai
tindakan yang jelas bisa membebaskan mereka dari struktur
yang mengurung dan memiskinkan mereka itu.

Sebagai doa, ucapan kita jelas mulia. Tapi bagaimanapun, ia
belum merupakan doa yang membebaskan.

---------------
Mohammad Sobary,
Jakarta

Selasa, 08 Juli 2008

PUISI LAKNAT UNTUK PARA DURJANA

PUISI LAKNAT UNTUK PARA DURJANA

YANG TAK BEDA DENGAN SERIGALA

YANG SENANTIASA BERPESTA DALAM ISTANA

INGIN KUKUTUK MENJADI KERAK NERAKA

KARENA TAK HENTI-HENTINYA MENGHIANATI KATA

TAK PUAS-PUASNYA MEMPERKOSA BAHASA

MENELIKUNG MAKNA MENJADI PETAKA

MEMBIARKAN DUSTA MENJADI BENCANA

DALAM BERKAS KERJA DAN KOAR-KOAR RENCANA

DI HADAPAN PARA JELATA DAN DI LAYAR KACA

DARI RIUH KOTA SAMPAI HENING DESA

MENGUBAH BAHAGIA MENJADI NESTAPA

MEMBEKAP TAWA DENGAN RINTIHAN LARA

MENGAPA KAU DIAM BANGSAT?

SEDANG BUMI PELAN-PELAN HABIS DIKERAT OLEH PARA KEPARAT!

ATAU MEMANG KALIAN KEKASIH GELAP?

YANG DIAM-DIAM TERTAWA BERSENDAKAP!?

HEI SAMPAH!

INI BUKAN PUISI GUNDAH

TAPI SUMPAH SERAPAH!!!!


By. Taufik Akbar Syam dalam Buku Orkestra Kehidupan

Putera Belopa

Politik Uang dalam Pemilihan Bupati Luwu 2008

Hiruk pikuk masyarakat luwu dalam menghadapi pemilihan bupati luwu untuk periode 2008-2013 begitu interest. Hal ini bisa dilihat dengan banyak calon yang muncul ke permukaan. Ini menandakan bahwa luwu sekarang mengalami kemajuan yang luar biasa terutama di bidang sumber daya manusia.

Dan memang politik, begitu menarik hati, tidak memandang status dalam tatanan social masyarakat. Ada adagium dalam politik bahwa tidak ada lawan atau kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Tujuan orang berpolitik adalah kekuasaan. Seperti kata Mafioso italia berkata” kekuasaan itu lebih nikmat daripada bersenggama”.

Perkembangan politik di luwu begitu mencengangkan, karena perubahan dukungan masyarakat bisa berubah-ubah setiap waktu. Fanatisme terhadap suatu kelompok tidak terlalu mengikat. Karena secara sosiologis masyarakat luwu adalah masyarakat yang merdeka dari tekanan siapapun. Namun persaingan antara kandidat calon bupati luwu, tidak akan terlepas dari politik uang yang seperti kanker ganas yang menggegoroti demokrasi, sehingga demokrasi tak lebih dari investasi untuk meraih kekayaan secara singkat dan menjanjikan. Demokrasi hanya symbol-simbol dalam pemilihan bupati luwu 2008.

Politik dan Uang

Kekuatan uang dalam politik semakin menunjukan pengaruh luar biasa. Pengaruh itu dapat kita saksikan dalam bekerjanya fungsi-fungsi parlemen dalam hubungan dengan pemerintah, institusi negara dan sector swasta.

Pendeknya, legitimasi parpol dan parlemen sebagai instrument demokrasi modern untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.kini berada di titik nadir. Betul bahwa kehidupan politik hanya ladang perburuan rente ekonomi dan bukan kegiatn produktif.

Kian intimnya hubungan politik dan uang mungkin akan melanggengkan korupsi investif. Para pejabat dan pengusaha yang dekat kekuasaan semakin kaya entah uangnya berasal dari uang halal atau uang haram Celakanya mereka tidak ada kepentingan untuk membangun infrastruktur politik, social, ekonomi yang sehat untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan tetapi sekedar cash and carry.

Peran kekuatan uang

Mengapa kekuatan uang begitu memegang peran penting? Yang nyata untuk membiayai kendaraan parpol dan untuk kampaye yang memerlukan biaya besar.

Dalam system pemilu sekarang, biaya politik untuk pemenangan pemilu lebih ke kas kandidat bukan partai, sehingga mereka harus memperluas sumber pendanaan. Kandidat bupati yang melamar parpol peserta pemilu harus mengeluarkan dua kali untuk memenagi “pemilu internal” dan kampaye di daerah pemilihan.

Faktor ideologis mungkin mungkin bukan daya tarik politik karena warna ideology hampir tidak terlihat dalam dunia perpolitikan, selain hanya politik identitas. Di mata rakyat, kebanyakan belum ada contoh nyata hubungan politik dengan kesejahteraan umum. Maka jangan salahkan jika masyarakat lebih pragmatis menuntut keuntungan pribadi yang langsung daripada perbaikan kebijakan umum. Apabila hal ini terjadi, yang ada hanya penghisapan manusia oleh manusia (L’explotation de L’homme per L’homme)

Namun harapan kedepan, makin banyak pemilih luwu yang rasional sekaligus mengingatkan untuk menghukum dan tidak memilih penguasa yang tidak berprestasi, mempunyai rapor merah, dan berbau busuk. Sehingga tujuan demokrasi tercapai yaitu keadilan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Copy Right . Andi Sidi Gazalba Wajuanna

Kordinator Front Rakyat Tana Luwu (FORTAL)

Don Quisotte

Pada zaman dahulu kala ada seorang ksatria bernama Don Quisotte(baca:Don Kisot). Ksatria selalu merasa bahwa dengan mempunyai baju zirah, dapat melindungi dirinya dari tajam pedang , tetapi sesungguhnya menjadi penghalang baginya untuk bergerak bebas. Dia merasa aman, meski tidak nyaman , di balik kurungan baju besi itu, kendati gerakannya terbatas dan terbat-bata.
Baju zirah yang digunakan tidak menjamin keamanan dirinya. Dengan menyakini gerakannnya yang terbatas, dia bertindak sebatas yang disinkan oleh sang baju untuk bermanuver, sebatas standar prosedur yang ada. Hasil tentu terbatas dan standar juga. Sementara pesaing lain, apabila mampu keluar dari belenggu ketidaknyamanan atau tidak menggunakan baju zirah sama sekali, maka mereka pasti akan memenangkan pertempuran ini. Don Quisotte, sang kesatria, niscaya akan terlindas dan terlibas oleh kegesitan gerak lawan. Dia akan mati dalam baju zirah yang dingin , berat dan kaku.


By. Andi Sidi Gazalba Wajuanna
Kordinator Front Rakyat Tana Luwu